Hal-hal yang apabila tidak
terpenuhi menyebabkan suatu perkara menjadi bid’ah
Dikutip dari tausiyah
Ust. Amir Faishal
Bid’ah adalah suatu pekerjaan
dalam lingkup ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad dan oleh para
sahabatnya. Nabi sendiri menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Kasusnya
adalah masalah bid’ah ini masih jadi perdebatan sengit dikubu umat islam
sendiri. Namun semoga tidak menjadi
penyebab pecah belahnya umat islam. Antar sesama orang saling saling mencap
sesat. Ingatlah sobat, apabila orang yang kita katakan sesat namun ternyata
tidak, maka kesesatan itu akan kembali pada diri kita. Na’uzubillah min dzalik.
Nah Ust. Amir Faishal dalam
tausiyahnya saat mengisi kajian di Masjid Baitul Mal STAN menyampaikan bahwa
paling tidak ada empat hal yang apabila suatu amal tidak berdasar padanya maka
pekerjaan itu termasuk bid’ah. Langsung aja,
Yang pertama, tidak berdasar pada Al-Qur’an. Hal ini sudah sangat
jelas. Amal ibadah yang dilakukan tanpa perintah Allah yang termaktub dalam
Al-Qur’an pasti sesat.
Yang kedua, tidak terdapat pada hadits rasul, baik itu qauli, fi’li
ataupun taqriri termasuk perbuatan sahabat Nabi. Hadits nabi selain menambahkan
hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an juga sebagai penjelasan terhadap
perintah Allah dalam Al-Qur’an yang masih bersifat general. Contohnya sholat
dan haji. Dalam Al-Qur’an disebutkan perintah untuk melaksanakan sholat dan
haji. Namun tidak dijelaskan bagaimana caranya sholat dan berhaji. Maka
Rasulullah yang menjelaskan dan mencontohkan bagaimana cara sholat dan haji.
Dengan begitu para sahabat dan kita umatnya bisa mendirikan sholat dan
menunaikan ibadah haji yang mampu. Perkataan nabi tentu berkaitan dengan
peristiwsa-peristiwa yang terjadi saat
itu. Sama seperti al-qur’an yang turunnya tidak sekaligus melainkan sesuai
dengan peristiwa saat itu. Biasanya untuk memberikan jawaban kepada Nabi akan
penyelesaian terhadap masalah yang terjadi. Karena itulah dikenal dengan
asbabun nuzul.
Lalu yang ketiga, suatu amal dikatakan bid’ah apabila tidak dijelaskan
pada ijma dan qiyas. Ijma adalah kesepakatan para ulama akan suatu hukum
sedangkan qiyas adalah mengkiaskan atau memiripkan suatu hal yang tidak di
sebutkan dalam Al-Qir’an dan hadits dengan hal yang mirip yang penjelasannya
ada pada qur’an dan hadits. Contohnya gampangnya adlah zakat. Kita sama-sama
tahu bahwa zakat merupakan rukum islam. Artinya kalua tidak membayar zakat maka
ada rukum yang tidak terpenuhi, berarti belum bisa dikatakan sebagai orang
islam. Nah jika kita lihat terdapat perbedaan dalam metode pembayaran zakat
antara zaman rasul dan saat ini. Pada ketetapannya zakat dibayar sesuai dengan
apa yang kita makan sehari-hari dan itulah yang berlaku pada zaman nabi dan
sahabat. Apa bedanya dengan sekarang, saat ini pembayran zakat bisa
dinominalkan. Artinya kita bisa membayar zakat tidak dengan makanan yang
sehari-hari kita makan bisa dalam bentuk uang, bahkan transfer lewat rekening
pun bisa. Nah ini merupakan suatu hal yang dikatakan baru karena zaman rasul
tidak dilakukan hal yang demikian.
Ke empat, hal yang menjadi objek termasuk dalam lingkup ibadah.
Kita ambil contoh peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Hal ini sudah menjadi
perbincangan yang tidak pernah ada akhirnya karena setiap pihak memiliki dalil
masing-masing yang mendukung pendapatnya. Sekarang kita bandingkan kasus pada poin
ke tiga dengan ke empat, kasus zakat diatas sudah jelas termasuk dalam kategori
ibadah sama seperti dengan sholat, namun karena ada qiyas di sana antara
besarnya jumlah bahan baku makan yang
disamakan dengan nominal uang untuk menunaikan zakat maka hal itu
diperbolehkan. Lalu bagaimana dengan perayaan maulid nabi. Ust. Amir Faishal
mengatakan bahwa maulid nabi tidak termasuk kategori ibadah melainkan hanya
sebatas metode untuk mengumpulkan massa sebagai media untuk mempermudah dakwah.
Diantara kita juga mungkin pernah
membawa riwayat khalifah umar bin khattab yang menjama’ahkan sholat tarawih
pada saat itu. Padahal Nabi sama sekali tidak penah mengajarkan sholat tarawih
dilakukan secara berjama’ah. Namun apa yang dilakukan Umar termasuk
sebaik-baiknya bid’ah. Yang perlu kita lihat disini adalah atas dasar apa Umar mengambil
keputusan yang demikian. Pertama, saat itu jumlah umat islam sudah banyak
sehingga kalua setiap orang sholat sendiri-sendiri akan kelihatan tidak rapih
dan individual. Karena itu kholifah Umar mengorganisir dengan menjama’ahkannya.
Hal ini juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan sesama muslim saat itu.
Sebagaiman kita tahu sholat berjamah bukan hanya sebuah perintah nabi. Lebih
dari itu sholat berjamaah akan memberikan efek emosional antar jama’ah. Saling
menguatkan dan saling mendukung. Inilah mengapa umat islam saat itu begitu
pantang mundur dan tak pernah merasa takut melaran orang-orang kafir yang
menentang islam. Semoga kita termasuk orang yang selalu menjaga sholat
berjama’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar