Sabtu, 25 Februari 2012

BID'AH atau BUKAN??


Hal-hal yang apabila tidak terpenuhi menyebabkan suatu perkara menjadi bid’ah

Dikutip dari tausiyah Ust. Amir Faishal

Bid’ah adalah suatu pekerjaan dalam lingkup ibadah yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad dan oleh para sahabatnya. Nabi sendiri menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Kasusnya adalah masalah bid’ah ini masih jadi perdebatan sengit dikubu umat islam sendiri. Namun  semoga tidak menjadi penyebab pecah belahnya umat islam. Antar sesama orang saling saling mencap sesat. Ingatlah sobat, apabila orang yang kita katakan sesat namun ternyata tidak, maka kesesatan itu akan kembali pada diri kita. Na’uzubillah min dzalik.

Nah Ust. Amir Faishal dalam tausiyahnya saat mengisi kajian di Masjid Baitul Mal STAN menyampaikan bahwa paling tidak ada empat hal yang apabila suatu amal tidak berdasar padanya maka pekerjaan itu termasuk bid’ah. Langsung aja,

Yang pertama, tidak berdasar pada Al-Qur’an. Hal ini sudah sangat jelas. Amal ibadah yang dilakukan tanpa perintah Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an pasti sesat.

Yang kedua, tidak terdapat pada hadits rasul, baik itu qauli, fi’li ataupun taqriri termasuk perbuatan sahabat Nabi. Hadits nabi selain menambahkan hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an juga sebagai penjelasan terhadap perintah Allah dalam Al-Qur’an yang masih bersifat general. Contohnya sholat dan haji. Dalam Al-Qur’an disebutkan perintah untuk melaksanakan sholat dan haji. Namun tidak dijelaskan bagaimana caranya sholat dan berhaji. Maka Rasulullah yang menjelaskan dan mencontohkan bagaimana cara sholat dan haji. Dengan begitu para sahabat dan kita umatnya bisa mendirikan sholat dan menunaikan ibadah haji yang mampu. Perkataan nabi tentu berkaitan dengan peristiwsa-peristiwa yang terjadi  saat itu. Sama seperti al-qur’an yang turunnya tidak sekaligus melainkan sesuai dengan peristiwa saat itu. Biasanya untuk memberikan jawaban kepada Nabi akan penyelesaian terhadap masalah yang terjadi. Karena itulah dikenal dengan asbabun nuzul.

Lalu yang ketiga, suatu amal dikatakan bid’ah apabila tidak dijelaskan pada ijma dan qiyas. Ijma adalah kesepakatan para ulama akan suatu hukum sedangkan qiyas adalah mengkiaskan atau memiripkan suatu hal yang tidak di sebutkan dalam Al-Qir’an dan hadits dengan hal yang mirip yang penjelasannya ada pada qur’an dan hadits. Contohnya gampangnya adlah zakat. Kita sama-sama tahu bahwa zakat merupakan rukum islam. Artinya kalua tidak membayar zakat maka ada rukum yang tidak terpenuhi, berarti belum bisa dikatakan sebagai orang islam. Nah jika kita lihat terdapat perbedaan dalam metode pembayaran zakat antara zaman rasul dan saat ini. Pada ketetapannya zakat dibayar sesuai dengan apa yang kita makan sehari-hari dan itulah yang berlaku pada zaman nabi dan sahabat. Apa bedanya dengan sekarang, saat ini pembayran zakat bisa dinominalkan. Artinya kita bisa membayar zakat tidak dengan makanan yang sehari-hari kita makan bisa dalam bentuk uang, bahkan transfer lewat rekening pun bisa. Nah ini merupakan suatu hal yang dikatakan baru karena zaman rasul tidak dilakukan hal yang demikian.

Ke empat, hal yang menjadi objek termasuk dalam lingkup ibadah. Kita ambil contoh peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Hal ini sudah menjadi perbincangan yang tidak pernah ada akhirnya karena setiap pihak memiliki dalil masing-masing yang mendukung pendapatnya. Sekarang kita bandingkan kasus pada poin ke tiga dengan ke empat, kasus zakat diatas sudah jelas termasuk dalam kategori ibadah sama seperti dengan sholat, namun karena ada qiyas di sana antara besarnya  jumlah bahan baku makan yang disamakan dengan nominal uang untuk menunaikan zakat maka hal itu diperbolehkan. Lalu bagaimana dengan perayaan maulid nabi. Ust. Amir Faishal mengatakan bahwa maulid nabi tidak termasuk kategori ibadah melainkan hanya sebatas metode untuk mengumpulkan massa sebagai media untuk mempermudah dakwah.

Diantara kita juga mungkin pernah membawa riwayat khalifah umar bin khattab yang menjama’ahkan sholat tarawih pada saat itu. Padahal Nabi sama sekali tidak penah mengajarkan sholat tarawih dilakukan secara berjama’ah. Namun apa yang dilakukan Umar termasuk sebaik-baiknya bid’ah. Yang perlu kita lihat disini adalah atas dasar apa Umar mengambil keputusan yang demikian. Pertama, saat itu jumlah umat islam sudah banyak sehingga kalua setiap orang sholat sendiri-sendiri akan kelihatan tidak rapih dan individual. Karena itu kholifah Umar mengorganisir dengan menjama’ahkannya. Hal ini juga bertujuan untuk mempererat persaudaraan sesama muslim saat itu. Sebagaiman kita tahu sholat berjamah bukan hanya sebuah perintah nabi. Lebih dari itu sholat berjamaah akan memberikan efek emosional antar jama’ah. Saling menguatkan dan saling mendukung. Inilah mengapa umat islam saat itu begitu pantang mundur dan tak pernah merasa takut melaran orang-orang kafir yang menentang islam. Semoga kita termasuk orang yang selalu menjaga sholat berjama’ah.


Jadi kesimpulannya, dalam menentukan suatu hal itu bid’ah atau tidak paling tidak ada empat hal seperti yang sudah di jelaskan. Yang saya tekankankan disini adalah perbedaan jangan sampai menjadi pemicu terpecahnya umat islam karena kita memiliki musuh yang sampai kita mengikuti mau mereka mereka tidak akan berhenti merongrong islam. Wa lan tardho ankal yahudu hatta tattabi’u millatahum... kita masih punya tugas yang lebih penting dari pada memperdebatkan masalah-masalah furu’ atau cabang, yaitu menyatukan umat islam dan menegakkan syari’at islam di muka bumi supaya antar umat bisa hidup berdampingan. Sepeti zaman rasulullah, khafaurrasyidun, dan khilafah islamiyah yang dalam kejayaannya membuat islam bisa sampai ke tanah air indonesia ini. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar