Jumat, 19 Desember 2014

Sinopsis



Cerita ini adalah fakta. Aku menjadi saksi hidup perjalanannya mencari kebenaran. Seperti nabi Ibrahim as yang mencari kebenaran, seperti itulah dia menemukan islam. Aku angkat kisah ini untuk mengajarkan tentang iman dan keyakinan, tentang kebersihan hati dan kebenaran, tentang akhlak dan hidayah, dan tentang ketabahan yang kokoh.

Waktu itu, lima tahun yang lalu. ia dan keluarganya baru saja keluar dari sebuah mobil taksi berwarna biru. Ia berdiri di antara ayah dan ibunya. Mereka saling bercakap sambil menunggu pak supir selesai menurunkan barang-barangnya. Dia adalah satu di antara empat puluh orang calon mahasiswa yang dinyatakan lulus tes seleksi masuk yang panjang. Hari ini adalah hari pertama empat puluh orang terpilih itu hidup berasrama untuk empat tahun kedepan.

Rambutnya bergelombang menyentuh bahu, Matanya bulat tapi tidak besar, Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih, dan hidungnya agak pesek. Logatnya biasa saja, seperti kebanyakan orang Jakarta meskipun dia asli orang jawa tengah yang masih kuat memegang tradisi. Namanya Putri Ratnasari. Dia seorang kristiani. Padahal, aku kira dia muslim. Tidak ada ciri-ciri bahwa dia seorang kristen katolik yang taat. Aku baru tahu setelah satu minggu berada di sini. Berbeda dengan mahasiswa yang satu lagi, namanya timotius. Dari namanya saja, setiap orang sudah yakin kalau dia bukan muslim. Dan setelah melihat wajahnya, setiap orang semakin yakin kalau dia seorang Kristen protestan.

Putri, adalah pribadi yang penyayang. Aku pikir setiap mahasiswa di sini adalah mahasiswa dengan latar belakang keluarga yang hidup berkecukupan, hidup layak, tanpa masalah yang berat. Tapi, dugaanku salah. semakin lama aku berada di sini, aku tahu bahwa dibalik pribadinya yang penyayang, dibalik pribadinya yang sangat feminim, Putri memiliki masalah yang berat. Tapi, masalah itu sama sekali tidak nampak di wajahnya. Justeru yang kelihatan adalah senyuman dan keramahan. Namun dibalik senyuman dan keramahan itu, siapa yang mengetahui kalau hatinya tengah berada dalam kebingungan, dan pikirannya sedang dalam tekanan akibat ikatan suami isteri ayah dan ibu yang hampir putus.

Dilema, itulah yang sedang dirasakan oleh Putri. Sebagai anak, ia ingin sekali berada di antara ayah dan ibunya demi mempertahankan keluarga. Tapi di sisi lain, ia dan tiga puluh sembilan mahasiswa lain sedang menjalani proses orientasi selama tiga bulan hidup berasrama tanpa izin keluar kampus, dan tanpa alat komunikasi apapun. Bingung, putri ingin sekali pulang menemui ayah dan ibunya, sementara dia terkurung karena harus menyelesaikan program orientasi yang baru selesai tiga bulan ke depan. Dilema, pulang dan dikeluarkan, atau tetap bertahan dalam tekanan dan kekhawatiran selama tiga bulan.

Putri seperti diberkahi hati yang bersih. Seperti Ibrahim yang tidak mau menerima begitu saja ajaran menyembah berhala, bibit kebenaran beranjak mengganggu hatinya yang taat menyembah yesus dan mengimani trinitas. Baginya, Satu adalah tiga dan tiga adalah satu, merupakan hal yang tidak masuk akal. Sedangkan nabi menjadi tuhan, dan tuhan menjelma menjadi manusia adalah hal yang tidak bisa diterima oleh iman. Antara katolik dan islam ialah seperti dogma dan sains. Seperti Ibrahim yang berkelana mencari tuhan dan kebenaran, seperti itulah rasa penasaran yang selalu membuatnya memikirkan antara katolik atau islam.

Dua masalah itu saling berhubungan, menjadi jalan penuh liku nun terjal selama pencarian…

Minggu yang berat

hari ini, minggu tanggal 13 september 2010 selepas sholat zuhur. Empat puluh calon mahasiswa sedang sibuk mengangkat bawaan mereka menuju titik kumpul. Bawaan yang tidak sedikit membuat tubuh mereka berpeluh. Kemeja putih lengan panjang yang mereka pakai lepek oleh keringat. Mereka berbaris sepanjang jalan dari gerbang menuju titik kumpul di dalam kampus, satu demi satu secara estafet barang-barang itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang berikutnya sampai di tangan orang yang ke empat puluh. Kakak-kakak senior, mahasiswa senior yang mengenakan seragam ketat berwarna abu-abu kecoklatan dengan seksama mengawasi kami memindahkan perabotan itu, mulai dari tas koper, ransel, ember, dan gayung. Hampir mirip dengan orang pindah tempat tinggal, hanya saja kami tidak membawa serta lemari dan tempat tidur kami dari rumah.

setelah satu jam bekerja dibawah terik matahari, dan telinga yang ikut panas karena diteriaki oleh mahasiswa senior agar lebih cekatan bergerak memindahkan barang, mereka masih belum diizinkan beristirahat. Berikutnya pengecekan barang. Setiap barang yang tidak sesuai dengan yang tercantum pada daftar barang bawaan akan disita oleh mahasiswa senior dan akan dikembalikan tiga bulan kemudian, setelah program orientasi selesai.

Empat puluh orang calon mahasiswa terpilih dari seluruh Indonesia ini telah melalui tes seleksi yang panjang. Mulai dari tes akademik, tes IQ, tes psikologi, tes kesehatan mental, dan tes kesehatan serta kebugaran tubuh. Seluruh tes itu rampung dalam tiga bulan. Wajah mereja beragam, sebagian besar wajah mereka masih kedaerahan, apalagi logat bicaranya. Sangat medok alias jawa sentris, atau untuk sebagian daerah jawa tengah dan jawa timur disebut “ngapak”. Sebagian lagi layaknya anak perkotaan, wajah dan logat berbicara mereka tidak ada yang mencolok meskipun ada yang berasal dari pulau dewata, Bali. Satu jam kemudian, pengecekan selesai. Selanjutnya mereka dipersilahkan merapihkan barang-barang dan beristirahat sampai ashar. Selepas itu bersiap-siap untuk aktivitas yang lebih melelahkan, kata salah satu mahasiswa senior dengan wajah sinis.

Istirahat? Tidak ada kasur, kursi, ataupun kamar, yang ada hanya tumpukan meja tak terpakai. mereka diberi ruangan luas dan kosong untuk meletakkan barang-barang dan beristirahat. Antara laki-laki dan perempuan hanya berbeda ruangan, yang perempuan lebih sadis lagi. Ruangan mereka sempit untuk ukuran dua belas orang dan barang-barang yang seabrek. Toilet, tersedia di pojok ruangan ini. tapi dengan kondisi yang memperihatinkan. Itulah tugas pertamanya, membersihkan toilet agar layak pakai.

Waktu ashar berlalu sudah, istirahat pun berakhir. Selepas sholat mereka diperintahkan untuk berganti pakaian. Kita akan olah raga sore, kata mahasiswa senior dengan nada yang tidak nyaman kedengaran di telinga. Pakaian olah raga mereka sederhana, kaos berwarna oranye, celana panjang training serta sepatu sket, dan tidak ketinggalan papan nama yang berisi identitas masing-masing berserta nomor peserta orientasi.
Lagi-lagi mereka diperintahkan untuk berbaris dengan rapi. Salah satu diantara mereka maju memimpin pemanasan. Sesudah itu menuju kelapangan upacara. Empat puluh orang calon mahasiswa ini dibagi menjadi delapan kelompok. Setiap kelompok diawasi oleh dua orang mahasiswa senior. Mahasiswa senior  juga berpakaian seragam olah raga, tapi lebih bagus dan lebih gagah dari yang mereka pakai. Jaket berwarna biru, celana panjang dengan warna yang matching dengan jaket, serta sepatu yang juga seragam. Mereka ingin memakai seragam itu, tapi mereka baru bisa mengenakan pakaian itu setelah program orientasi ini selesai. Itupun kalau mereka dinyatakan lulus. Kalian ini masih calon mahasiswa, belum menjadi mahasiswa betulan. Jadi, masih ada kemungkinan kalian tidak lulus. Begitu kata mahasiswa senior kepada mereka dengan nada yang mengucilkan.

Olah raga sore ini bukan main sepak bola, bulu tangkis, voli, atau yang lainnya. Tapi belajar peraturan baris-berbaris.

“Baris-berbaris itu makanan sehari-hari kalian selama empat tahun hidup di sini. Setiap pergerakan kalian harus dengan berbaris rapi. Jadi kalian harus bisa. Kalian ini mahasiswa kedinasan yang dibiayai uang negara. Jadi, tunjukkan kedisiplinan kalian. Jangan loyo! Mencla-mencle!! Jangan bikin malu nama sekolah. Kalian harus inisiatif, respek, dan cekatan.” Kata salah satu senior. Dia perempuan, tapi suaranya nge-bas seperti laki-laki.

“Siap senior!!”

Ternyata latihan baris berbaris dan bermain sepak bola itu tidak beda jauh. Lutut mereka sampai gemetaran akibat berjam-jam diperintahkan jalan di tempat, Betis dan telapakan kaki mereka juga terasa panas. Bahkan sebagian ada yang sudah mulai kapalan.

“Kalian belum kompak!! setiap gerakan harus dilakukan bersama-sama. PBB itu bukan bukan cuma perkara maju mundur dan jalan di tempat. Kalian juga dituntut supaya kompak. Kalian ini satu angkatan, harus saling memiliki. Kalau gerakan kalian masih berantakan kayak gini artinya kalian belum kompak satu sama lain. mengerti?!!” katanya setengah membentak.
“Siap!! Mengerti senior!”

Nampaknya mahasiswa senior itu semakin jengkel menghadapi mereka. Anak desa yang biasa main di kampung dan anak kota yang manja, mana bisa berjalan macam tentara yang berbaris rapi dan teratur.
Matahari sudah kehilangan panasnya. Tersisa cahaya oranye keemasan. Indah sekali langit sore dikampus ini. awan putih disekeliling matahari ditembus oleh guratan-guratan cahaya mentari sore, seperti kertas putih ditembus jarum. Pemandangan itu cukup menjadi penyejuk hati mereka. Tapi, siapa yang tahu kalau istirahat pada sore hari ini tidak lagi seperti istirahat pada sore hari saat pulang sekolah di rumah mereka masing-masing. sebelum mandi, mereka harus membersihkan toiletnya lebih dulu. Setelah itu baru mereka bisa mandi dan melepas pekatnya keringat di tubuh masing-masing.

“Heh! Kamu pikir ini diterminal apa? Bawa handuk dan peralatan mandi jangan kaya kondektur gitu!! Sini saya ajarin! Yang lainnya juga cepat kumpul di sini supaya tahu juga.” kata mahasiswa senior yang sejak tadi mengawasi mereka. “begini caranya, handuknya kamu lipat persegi panjang seperti ini.” katanya sambil mencontohkan cara melipatnya, mereka memperhatikan dengan seksama. “setelah itu kalian letakkan seperti ini di tangan kiri kalian. Nah rapihkan! Peralatan mandi yang lain letakkan di dalam gayung, terus pegang gayungnya seperti ini. Nah begini cara kalian membawa handuk dan peralatan mandi. Jangan seperti kondektur diterminal!! Mengerti?”

“Siap mengerti. Terimakasih senior!”

Sudah menjadi kewajiban bagi mereka, setiap kali mendapatkan sesuatu dari senior baik itu barang, pertolongan, arahan, nasihat, bahkan ukuman sekalipun, mereka wajib mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa senior. Mereka merasa seperti anak kecil lagi, bawa handuk dan gayung saja masih diajari. Setelah itu mereka bubar dan mempraktikan apa yang baru saja diajarkan. Mau mandi saja repot, tidak disangka peraturannya akan seketat ini. biasa hidup seenaknya, kali ini segala sesuatunya harus diatur. Setelah ini apa lagi yang diatur? Pikir mereka.

Sesudah mandi dan sholat maghrib berjama’ah waktunya makan malam. Makan malam pun diatur. Mulai dari memegang sendok dan garpu, cara membereskannya, cara mengambil nasi dan lauk dari piring untuk dimasukkan ke mulut, cara mengunyah, posisi tubuh saat makan, bahkan mereka tidak boleh makan di atas lima belas menit. Belum lagi tata cara berdoa sebelum makan yang harus laporan dahulu kepada mahasiswa senior, mengucapkan berapa jumlah calon mahasiswa yang makan dan yang tidak makan lengkap dengan alasannya. Alhasil, setengah jam sejak mereka mulai duduk di meja makan, barulah mereka mulai mengunyah nasi.

Menunya cukup enak, nasi putih, ayam goreng dan sayur nangka kuah santan. Dengan cepat mereka melahap makanan itu. Yang membuat tidak nyaman adalah mereka seperti nara pidana, makanpun diawasi. Hari ini kalian masih bisa makan dengan santai, besok jangan harap bisa seperti ini. begitu kata senior mereka. Padahal, makan malam hari ini saja sudah repot dan tidak nyaman, bagaimana besok? Tidak boleh sambil nonton televisi, tidak ada sambal, kecap, apalagi air dingin dan macam-macam jus buah. tidak boleh sambil ngobrol, apalagi angkat kaki di atas kursi. Pokoknya jauh dari kenikmatan satu hari sebelumnya di rumah.

“Sudah lima belas menit! Siapa yang belum selesai?” teriak mahasiswa senior dari meja paling ujung.
“Siap!” beberapa diantara mereka mengangkat tangan. Nasi mereka masih banyak, bahkan ada yang tidak menyentuh ayam goreng-nya sama sekali. Ternyata dia vegetarian. Sejak kecil dia tidak pernah makan daging. Dan malam ini, dia hampir muntah karena dipaksa menghabiskan ayam gorengnya. Sedih sekali melihatnya. Alangkah tersiksanya kalau setiap hari harus seperti ini.

Selesai makan malam, Adzan isya menyambut. Sholat isya malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya, entah mengapa terasa lebih khusyuk. Selepas itu mereka diberikan waktu untuk berkenalan satu sama lain. mereka duduk melingkar di atas lantai yang mereka bersihkan tadi sore, satu persatu diantara mereka memperkenal diri. Disitulah pertama kali Putri mengeluarkan suaranya. Anak perempuan yang turun dari taksi bersama ayah dan ibunya tadi siang.
 
to be continued...