hari ini, minggu tanggal 13
september 2010 selepas sholat zuhur. Empat puluh calon mahasiswa sedang sibuk
mengangkat bawaan mereka menuju titik kumpul. Bawaan yang tidak sedikit membuat
tubuh mereka berpeluh. Kemeja putih lengan panjang yang mereka pakai lepek oleh
keringat. Mereka berbaris sepanjang jalan dari gerbang menuju titik kumpul di
dalam kampus, satu demi satu secara estafet barang-barang itu berpindah dari
satu tangan ke tangan yang berikutnya sampai di tangan orang yang ke empat
puluh. Kakak-kakak senior, mahasiswa senior yang mengenakan seragam ketat berwarna
abu-abu kecoklatan dengan seksama mengawasi kami memindahkan perabotan itu,
mulai dari tas koper, ransel, ember, dan gayung. Hampir mirip dengan orang
pindah tempat tinggal, hanya saja kami tidak membawa serta lemari dan tempat
tidur kami dari rumah.
setelah satu jam bekerja dibawah
terik matahari, dan telinga yang ikut panas karena diteriaki oleh mahasiswa
senior agar lebih cekatan bergerak memindahkan barang, mereka masih belum
diizinkan beristirahat. Berikutnya pengecekan barang. Setiap barang yang tidak
sesuai dengan yang tercantum pada daftar barang bawaan akan disita oleh mahasiswa
senior dan akan dikembalikan tiga bulan kemudian, setelah program orientasi
selesai.
Empat puluh orang calon mahasiswa
terpilih dari seluruh Indonesia ini telah melalui tes seleksi yang panjang.
Mulai dari tes akademik, tes IQ, tes psikologi, tes kesehatan mental, dan tes
kesehatan serta kebugaran tubuh. Seluruh tes itu rampung dalam tiga bulan.
Wajah mereja beragam, sebagian besar wajah mereka masih kedaerahan, apalagi
logat bicaranya. Sangat medok alias jawa sentris, atau untuk sebagian daerah
jawa tengah dan jawa timur disebut “ngapak”. Sebagian lagi layaknya anak perkotaan,
wajah dan logat berbicara mereka tidak ada yang mencolok meskipun ada yang
berasal dari pulau dewata, Bali. Satu jam kemudian, pengecekan selesai. Selanjutnya
mereka dipersilahkan merapihkan barang-barang dan beristirahat sampai ashar.
Selepas itu bersiap-siap untuk aktivitas yang lebih melelahkan, kata salah satu
mahasiswa senior dengan wajah sinis.
Istirahat? Tidak ada kasur,
kursi, ataupun kamar, yang ada hanya tumpukan meja tak terpakai. mereka diberi
ruangan luas dan kosong untuk meletakkan barang-barang dan beristirahat. Antara
laki-laki dan perempuan hanya berbeda ruangan, yang perempuan lebih sadis lagi.
Ruangan mereka sempit untuk ukuran dua belas orang dan barang-barang yang
seabrek. Toilet, tersedia di pojok ruangan ini. tapi dengan kondisi yang
memperihatinkan. Itulah tugas pertamanya, membersihkan toilet agar layak pakai.
Waktu ashar berlalu sudah,
istirahat pun berakhir. Selepas sholat mereka diperintahkan untuk berganti
pakaian. Kita akan olah raga sore, kata mahasiswa senior dengan nada yang tidak
nyaman kedengaran di telinga. Pakaian olah raga mereka sederhana, kaos berwarna
oranye, celana panjang training serta sepatu sket, dan tidak ketinggalan papan
nama yang berisi identitas masing-masing berserta nomor peserta orientasi.
Lagi-lagi mereka diperintahkan
untuk berbaris dengan rapi. Salah satu diantara mereka maju memimpin pemanasan.
Sesudah itu menuju kelapangan upacara. Empat puluh orang calon mahasiswa ini
dibagi menjadi delapan kelompok. Setiap kelompok diawasi oleh dua orang mahasiswa
senior. Mahasiswa senior juga berpakaian
seragam olah raga, tapi lebih bagus dan lebih gagah dari yang mereka pakai. Jaket
berwarna biru, celana panjang dengan warna yang matching dengan jaket, serta sepatu yang juga seragam. Mereka ingin
memakai seragam itu, tapi mereka baru bisa mengenakan pakaian itu setelah
program orientasi ini selesai. Itupun kalau mereka dinyatakan lulus. Kalian ini
masih calon mahasiswa, belum menjadi mahasiswa betulan. Jadi, masih ada
kemungkinan kalian tidak lulus. Begitu kata mahasiswa senior kepada mereka
dengan nada yang mengucilkan.
Olah raga sore ini bukan main
sepak bola, bulu tangkis, voli, atau yang lainnya. Tapi belajar peraturan
baris-berbaris.
“Baris-berbaris itu makanan
sehari-hari kalian selama empat tahun hidup di sini. Setiap pergerakan kalian harus
dengan berbaris rapi. Jadi kalian harus bisa. Kalian ini mahasiswa kedinasan
yang dibiayai uang negara. Jadi, tunjukkan kedisiplinan kalian. Jangan loyo!
Mencla-mencle!! Jangan bikin malu nama sekolah. Kalian harus inisiatif, respek,
dan cekatan.” Kata salah satu senior. Dia perempuan, tapi suaranya nge-bas
seperti laki-laki.
“Siap senior!!”
Ternyata latihan baris berbaris
dan bermain sepak bola itu tidak beda jauh. Lutut mereka sampai gemetaran
akibat berjam-jam diperintahkan jalan di tempat, Betis dan telapakan kaki mereka
juga terasa panas. Bahkan sebagian ada yang sudah mulai kapalan.
“Kalian belum kompak!! setiap
gerakan harus dilakukan bersama-sama. PBB itu bukan bukan cuma perkara maju
mundur dan jalan di tempat. Kalian juga dituntut supaya kompak. Kalian ini satu
angkatan, harus saling memiliki. Kalau gerakan kalian masih berantakan kayak
gini artinya kalian belum kompak satu sama lain. mengerti?!!” katanya setengah
membentak.
“Siap!! Mengerti senior!”
Nampaknya mahasiswa senior itu semakin
jengkel menghadapi mereka. Anak desa yang biasa main di kampung dan anak kota
yang manja, mana bisa berjalan macam tentara yang berbaris rapi dan teratur.
Matahari sudah kehilangan
panasnya. Tersisa cahaya oranye keemasan. Indah sekali langit sore dikampus
ini. awan putih disekeliling matahari ditembus oleh guratan-guratan cahaya
mentari sore, seperti kertas putih ditembus jarum. Pemandangan itu cukup
menjadi penyejuk hati mereka. Tapi, siapa yang tahu kalau istirahat pada sore hari
ini tidak lagi seperti istirahat pada sore hari saat pulang sekolah di rumah
mereka masing-masing. sebelum mandi, mereka harus membersihkan toiletnya lebih
dulu. Setelah itu baru mereka bisa mandi dan melepas pekatnya keringat di tubuh
masing-masing.
“Heh! Kamu pikir ini diterminal
apa? Bawa handuk dan peralatan mandi jangan kaya kondektur gitu!! Sini saya
ajarin! Yang lainnya juga cepat kumpul di sini supaya tahu juga.” kata mahasiswa
senior yang sejak tadi mengawasi mereka. “begini caranya, handuknya kamu lipat
persegi panjang seperti ini.” katanya sambil mencontohkan cara melipatnya, mereka
memperhatikan dengan seksama. “setelah itu kalian letakkan seperti ini di
tangan kiri kalian. Nah rapihkan! Peralatan mandi yang lain letakkan di dalam
gayung, terus pegang gayungnya seperti ini. Nah begini cara kalian membawa
handuk dan peralatan mandi. Jangan seperti kondektur diterminal!! Mengerti?”
“Siap mengerti. Terimakasih senior!”
Sudah menjadi kewajiban bagi
mereka, setiap kali mendapatkan sesuatu dari senior baik itu barang,
pertolongan, arahan, nasihat, bahkan ukuman sekalipun, mereka wajib mengucapkan
terimakasih kepada mahasiswa senior. Mereka merasa seperti anak kecil lagi,
bawa handuk dan gayung saja masih diajari. Setelah itu mereka bubar dan mempraktikan
apa yang baru saja diajarkan. Mau mandi saja repot, tidak disangka peraturannya
akan seketat ini. biasa hidup seenaknya, kali ini segala sesuatunya harus diatur.
Setelah ini apa lagi yang diatur? Pikir mereka.
Sesudah mandi dan sholat maghrib
berjama’ah waktunya makan malam. Makan malam pun diatur. Mulai dari memegang
sendok dan garpu, cara membereskannya, cara mengambil nasi dan lauk dari piring
untuk dimasukkan ke mulut, cara mengunyah, posisi tubuh saat makan, bahkan mereka
tidak boleh makan di atas lima belas menit. Belum lagi tata cara berdoa sebelum
makan yang harus laporan dahulu kepada mahasiswa senior, mengucapkan berapa
jumlah calon mahasiswa yang makan dan yang tidak makan lengkap dengan
alasannya. Alhasil, setengah jam sejak mereka mulai duduk di meja makan,
barulah mereka mulai mengunyah nasi.
Menunya cukup enak, nasi putih,
ayam goreng dan sayur nangka kuah santan. Dengan cepat mereka melahap makanan
itu. Yang membuat tidak nyaman adalah mereka seperti nara pidana, makanpun
diawasi. Hari ini kalian masih bisa makan dengan santai, besok jangan harap
bisa seperti ini. begitu kata senior mereka. Padahal, makan malam hari ini saja
sudah repot dan tidak nyaman, bagaimana besok? Tidak boleh sambil nonton televisi,
tidak ada sambal, kecap, apalagi air dingin dan macam-macam jus buah. tidak
boleh sambil ngobrol, apalagi angkat kaki di atas kursi. Pokoknya jauh dari
kenikmatan satu hari sebelumnya di rumah.
“Sudah lima belas menit! Siapa
yang belum selesai?” teriak mahasiswa senior dari meja paling ujung.
“Siap!” beberapa diantara mereka
mengangkat tangan. Nasi mereka masih banyak, bahkan ada yang tidak menyentuh
ayam goreng-nya sama sekali. Ternyata dia vegetarian. Sejak kecil dia tidak
pernah makan daging. Dan malam ini, dia hampir muntah karena dipaksa
menghabiskan ayam gorengnya. Sedih sekali melihatnya. Alangkah tersiksanya
kalau setiap hari harus seperti ini.
Selesai makan malam, Adzan isya menyambut.
Sholat isya malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya, entah mengapa
terasa lebih khusyuk. Selepas itu mereka diberikan waktu untuk berkenalan satu
sama lain. mereka duduk melingkar di atas lantai yang mereka bersihkan tadi
sore, satu persatu diantara mereka memperkenal diri. Disitulah pertama kali Putri
mengeluarkan suaranya. Anak perempuan yang turun dari taksi bersama ayah dan
ibunya tadi siang.
to be continued...