Senin, 20 Mei 2013

Hati tak diberi makan, jadilah ia kelaparan! baca : "GALAU"


Allah meminta kita untuk menjalankan agama islam secara kaffah bukan tanpa maksud dan tujuan. Sejatinya, apapun yang Allah perintahkan kepada kita, itu demi kebaikan kita sendiri. Sama sekali bukan untuk Allah. Bukan seperti raja kepada rakyat, bukan seperti majikan kepada pembantu, dan bukan juga seperti manajer kepada anak buahnya.

Syariat yang dijalankan dengan sempurna, atau aturan-aturan yang diamalkan sebagaimana mestinya dibalik bagaimana cara kita melakukannya akan membawa kita pada kemurnian tauhid kepada Allah SWT. Kali ini saya hanya akan membahas dari sudut pandang bagaimana syariat mengatur tata cara hubungan seorang laki-laki bersikap kepada lawan jenis yang bukan mahramnya, atau sebaliknya dan mengaitkannya kepada kemurniaan tauhid.

Kebanyakan kita, terlalu sering memaklumi diri sendiri demi melegalitaskan apa yang kita anggap baik. Perhatikan kata “anggap”. Anggapan itu akan menjadi benar ketika sesuai dengan aturan atau syariat yang berlaku. Ada beberapa contoh kelakuan pemakluman yang seharusnya tidak dilakukan ketika berkomunikasi dengan lawan jenis:
  1. bertatapan mata dengan lawan jenis, memang ini merupakan hal kecii. Tapi, apakah karena merupakan hal yang kecil hal ini dimaklumkan. Padahal, semua hal besar dimulai dari yang kecil, iyakan? Hal ini dimaklumi karena sudah menjadi suatu hal yang lumrah di sekitar kita untuk bersitatap dengan lawan jenis yang bukan mahram.
  2. bercanda berlebihan dengan lawan jenis, dengan beralasan “kan cuma bercanda aja, gak ngapa-ngapain, kita juga cuma temen, bersentuhan juga enggak...” dan lain sebaginya. Yang jelas poin nomor 2 ini bisa jadi hasil dari kebiasaan nomor satu. Karena sudah biasa saling tatap mata, sudah tidak canggung untuk saling berpandangan, berbicara berdua dengan enjoy-nya, kemudian mulailah bercanda-canda. Dari situ, mulailah memberikan bekas di hati. Biasanya kasus seperti ini sering terjadi ketika kerja tim, baik itu tugas kuliah, organisasi, maupun dakwah.
  3. Bermula dari adanya bekas di-hati, pikiran kita tentunya akan mengingat hal itu. Setiap kali bertemu dengannya, akan ingat dengan kejadian waktu itu. Kenapa? Karena ada bekas di hati kita. Semakin sering bekas itu muncul, seiring dengan meningkatnya intensitas komunikasi kita dengan si Dia karena tuntutan tugas, tentunya bekas-bekas itu akan semakin jelas, kuat, dan mulai mencari tempat di hati kita. Coba teliti, awalnya sama sekali tidak ada niat untuk suka-menyukai. Hanya “kerja kelompok” titik.
  4. Seiring dengan bertempatnya dia di hati kita, dan seringnya terjadi bersitatap muka dan pandangan mata, di kuatkan lagi dengan canda tawa yang tak terasa, semua itu akan terekam dengan baik oleh hati kita. Maka, mulailah hati kita dikuasai oleh rasa itu. Sedikit demi sedikit semua rekaman itu menggeser cahaya Allah yang semula bersemayam di hati kita.

Apa sih gejalanya? Mudah sekali, mulai ada kecenderungan ingin selalu melihatnya, mulai sering mengingat-ingatnya, dan selalu ingin berada di dekatnya. Ketika semua itu tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah “GALAU”. Ya, hati kita butuh makanan, makanannya adalah ketentraman, kedamaian, dan kepuasan atas terpenuhinya hal-hal yang kita inginkan. Andai hal-hal yang kita inginkan tadi bersama si Dia tidak terpenuhi, maka hati akan kelaparan dan kehausan. Dan sayangnya, hanya cahaya rahmat dari Allah saja yang mampu memuaskan hati manusia. Ibarat orang indonesia, makanan pokoknya ada nasi. Kalau belum makan nasi maka belum makan, karena belum merasa kenyang. Nah, Rahmat Allah itu ibarat nasi untuk perut kita, makanan pokok.

Kalau sudah begini, tandanya hati sudah terpaut dengan makhluk (si Dia) selain kepada Allah. Semua itu di mulai dari sekedar pandangan mata. Padahal, disitulah letak kesempurnaan syariat. Jadi, kesempurnaan menjalankan syariat bisa dilihat dari sesempurna apa seseorang menjalankan hal-hal yang kecil dalam syari'at.

Sekarang kita lanjut, dimana letak hubungan kesempurnaan syariat dengan kemurniaan tauhid kepada Allah SWT? Kata “Ilah” mempunya empat makna:
  1. yang memberikan ketentraman
  2. yang memberikan perlindungan
  3. yang membuat rindu kepadanya
  4. yang membuat cinta kepadanya

coba tengok gejala yang terjadi ketika hati seseorang terpaut kepada lawan jenis,
  1. Semakin sering seseorang mengingat lawan jenisnya, itu adalah indikasi ia mencintai lawan jenisnya itu. Sesuai dengan poin ke-4. Ada cinta yang seharusnya kepada Allah tapi malah cinta itu ditujukan kepada makhluk. Akhirnya hanya si Dia yang ada di ingatan kita.
  2. Karena hanya si Dia yang ada diingatan kita, dari situ akan muncul kerinduan untuk bertemu, rasanya ingin selalu ada di dekatnya. Hal ini sesuai dengan poin ke-3. Ketika tidak berada dengannya, kita merinduinya.
  3. Kenapa kita rindu ingin selalu bersamanya? atau walau hanya sekedar melihatnya? jawabannya adalah karena kita merasa nyaman saat berada dengannya. Bukankah sebuah sinonim antara nyaman dengan tenteram? Kondisi ini sesuai dengan poin ke-1, kita merasa nyaman ketika berada dekat dengan yang kita cintai dan rindui.
  4. Rasa tenteram atau nyaman itu akan lahir ketika kita tidak ada sama sekali rasa khawatir dalam hati kita. Semuanya akan baik-baik saja. Bagi perempuan, rasa ini akan muncul ketika merasa ada yang melindungi dirinya. Di sini, kena dengan poin ke-2.

Jadi, jelaskan kalau kesempurnaan syariat berhubungan dengan kemurniaan ketauhidan. Yang saya tekankan di sini adalah, ketika rasa cinta kepada lawan jenis itu sudah memberikan gejala-gejala yang saya sebutkan tadi, maka segeralah beristighfar, karena semua itu mempengaruhi keimanan kita kepada Allah SWT. Bagaimana tidak? Kalau setiap hari yang lebih banyak di ingat adalah si Dia, bukan tuhannya? Kalau yang dirindui hanya si Dia bukan Tuhannya?

Lalu dimana letak kebaikannya untuk kita dengan mengamalkan syariat yang sempurna? Saya tidak akan mengatakan kita akan dimasukkan ke syurga atau terbebas dari api neraka. Karena kalau saya sebutkan itu, rasanya terlalu pamrih. Ya meskipun semua akan tertuju kesitu, saya tidak mau munafik. Tapi, yang lebih dekat dan yang paling terasa adalah, ketika hati sudah terpaut dengan makhluk. Lalu muncul gejala-gejala rindu kepadanya, cinta kepadanya, ingin bertemu, berbincang, berada dekat dengannya, dan diperhatikan oleh si Dia. tapi semua itu tidak terpenuhi, yang terjadi adalah “GALAU” alias tidak tenang, tidak tenteram, khawatir, was-was, selalu ada yang kurang, dan selalu gelisah, sama sekali jauh dari rasa nyaman.

Bukankah hidup seperti itu sangat menderita? Betapa besar kerusakan yang akan terjadi. Mulai dari malas belajar, malas ibadah, bahkan makan pun tidak selera. Ayolah kawan, kita evaluasi kepada siapa hati kita terpaut saat ini. Sekali lagi, rasa bahagia, nyaman, tenteram, dan damai bersumber dari hati kita sendiri. Dan pemenuhan akan kebutuhan hati kita agar bisa merasakan itu semua hanya tertutupi oleh cahaya rahmat dari Allah SWT, bukan dari apapun yang kita cinta selain Allah di dunia ini. Jadi, kalau hidup kita masih merasa resah, tanda hati kita belum terpaut kepada Allah SWT. Artinya, tauhid kita belum sepenuhnya murni. Semoga bermanfaat, wallahu'alam...to be continued()

Tidak ada komentar:

Posting Komentar