Sabtu, 08 Februari 2014

Satu artikel menjelang subuh:”belajar dari sarang laba-laba”




Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tiga predikat yang melekat pada dirinya. Predikat pertama adalah manusia sebagai hamba Tuhan. Predikat kedua adalah manusia sebagai makhluk sosial, dan predikat yang ketiga adalah manusia sebagai makhluk individu. Itu artinya manusia selama hidup di muka bumi membutuhkan campur tangan dari Tuhan, campur tangan dan orang lain, dan adakalanya manusia berdiri sendiri untuk mengatur dirinya.

Lalu, bagaimana ketiga hal itu, dengan begitu saja dapat terjadi saling berkaitan dan berkesinambungan? Bagaimana ketiga hal itu mempengaruhi jalan hidup kita? Sobat, pagi ini aku ingin membagikan satu hikmah yang penting. Yaitu tentang “Takdir”.

kalian tentu menyaksikan bukan, betapa status manusia dimuka bumi ini berbeda-beda. Ada pengusaha, ada pengemis, ada yang bahagia, ada yang sedih, ada orang baik, dan ada pula orang jahat, ada orang jujur, dan ada juga orang yang licik, dan sebagainya. Nantinya, sebagai apapun kita di dunia, di akhirat hanya ada dua tempat kembali, yakni surga dan neraka.

Pertanyaannya, apakah mereka yang hidup sebagai pengusaha, dan pengemis semata-mata karena takdir? Apakah adanya orang yang baik dan orang yang jahat semata-mata karena takdir? Dan apakah masuk surga atau nerakanya seseorang juga karena takdir? Kalau iya, maka Tuhan tidak adil, karena dia sudah menentukan semua nasib manusia. Sedangkan kita tidak diberi kesempatan untuk meminta nasib hidup seperti apa kepada Tuhan sebelum kita diciptakan di dunia. Tapi, apakah memang demikian? Baca terus tulisan ini.

Sobat, Aku pun berpikir demikian. Dan butuh  waktu lama sampai “logika”-ku bisa menerima “konsep takdir” seutuhnya. Aku minta sekarang kalian bayangkan sebuah “sarang laba-laba”. Sarang laba-laba itu terhubung kepada dua dahan pohon di sisi kiri dan kanannya. Sekarang, kita ibaratkan sisi kanan sarang laba-laba itu adalah surga, dan sisi kirinya adalah neraka. Lalu, perhatikan pada bagian tengah sarang laba-laba itu. Itulah titik awal kita hidup. Di tengah sarang laba-laba itu kita memulai hidup ini. Perhatikan juga bahwa sarang laba-laba memiliki banyak titik temu/simpul yang saling terhubung satu sama lainnya. Sehingga, jika di awal kalian berjalan ke sisi kanan, pada titik temu selanjutnya kalian bisa berbelok ke arah kebalikkannya tanpa melewati jalur yang sama.

Sekarang, kita ibaratkan setiap titik simpul adalah sebuah pemberhentian dalam hidup kita. Misalnya, “pergantian/perubahan” status dari pelajar SMA menjadi Mahasiswa PTN. Atau hari pernikahan kita, atau apapun peristiwanya. Intinya, setelah kita melewati titik pemberhentian itu, kita berada pada fase yang berikutnya dan berbeda dari fase sebelumnya. Fase tersebut bisa jadi lebih baik, tapi bisa juga lebih buruk dari fase sebelumnya. Itulah takdir sobat. Jadi, Tuhan sudah menentukan semua “kemungkinan” titik pemberhentian kita. Sisanya tergantung pada diri kita sendiri. Artinya, kita memiliki “pilihan”. Segudang pilihan itu kita bebas menentukan mau mengambil jalan yang mana. Jika kita terus berjalan ke sisi kanan sarang laba-laba itu, maka kita akan sampai ke surga. Tapi sebaliknya, jika kita terus berjalan ke sisi kiri sarang laba-laba itu, maka kita akan sampai ke neraka. Atau mungkin, kita sudah berjalan ke arah kanan, tapi di tengah-tengah perjalanan kita memilih untuk berbelok ke arah sebaliknya, sampailah kita ke neraka. Atau ada kemungkinan juga, meskipun kita sudah berbelok ke kiri, sampai pada simpul tertentu kita berbelok lagi ke arah kanan, dan begitu seterusnya sampai batas waktu kita hidup di dunia. Tapi sayangnya, tidak ada satupun orang yang tahu kapan dirinya akan meninggal dunia. Sehingga dia tidak bisa menentukan akan masuk surga atau masuk neraka.

Sobat, pada awal tulisan ini, aku menyinggung predikat manusia sebagai makhluk sosial. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana takdir orang lain mempengaruhi takdir kita? Apa iya takdir orang lain mempengaruhi takdir kita? Tentu saja! akan aku berikan contoh nyata yang sederhana. Di kampusku, mahasiswa memiliki badan organisasi yang disebut Dewan Perwakilan Mahasiswa atau DPM (semacam DPR). Di samping itu, ada juga Unit Kegiatan Mahasiswa atau UKM. Kemudian ada dua orang mahasiswa A dan B. si A adalah ketua UKM dan si B adalah wakil si A di UKM. Bersamaan dengan itu si B juga menjabat sebagai salah satu pengurus DPM.

Setelah berjalan beberapa bulan, si A mencalonkan dirinya untuk menjadi ketua Forum Mahasiswa Kedinasan Indonesia atau FMKI, dan akhirnya si A terpilih menjadi ketua FMKI. Maka, secara otomatis si B naik jabatan menjadi ketua UKM, dan ada mahasiswa lain yakni si C yang menggantikan jabatan si B di DPM. Ketua FMKI dan Ketua UKM itulah di sebut sebagai simpul/titik temu.

Sobat, aku memilih contoh ini sebagai gambaran tentang takdir, karena aku mengikuti bagaimana proses si A dan si B berada di posisinya masing-masing dari awal sampai saat ini. beberapa bulan sebelum ini, terjadi musyawarah sengit untuk memilih antara si A dan si B sebagai ketua UKM. Namun, keputusan musyawarah menetapkan si A menjadi ketua UKM, dan si B menjadi wakilnya. Setelah beberapa bulan berjalan, si A mendapat kesempatan untuk menjadi ketua FMKI, dan si A mengambil kesempatan itu. Maka jadilah si A ini ketua FMKI. Dan si B yang tadinya wakil ketua UKM, akhirnya menjadi ketua UKM jua.

Sebagian orang akan berkata, “memang sudah takdirnya si B jadi ketua UKM…” atau berkata begini, “Buat apa susah-susah musyawarah, kalau ujung-ujungnya si B yang jadi ketua UKM. Tentukan saja sejak awal kalau ketua UKM-nya si B…” dan itu pula yang pertama kali terlintas di kepalaku. Andai saja, si A tidak memilih untuk menjadi ketua FMKI, maka si B tetap menjadi wakilnya. Dan si C tidak akan menggantikan si B di DPM.

Itu artinya, “Ada banyak sekali sarang laba-laba yang saling terhubung di muka bumi”. Mungkin takdir si A tidak berhubungan langsung dengan si C. tapi karena takdir si A berhubungan dengan takdir si B, dan takdir si B berhubungan dengan takdir si C, maka jadilah takdir si A ikut mengubah takdir si C.
Lalu, dimana predikat manusia sebagai makhluk individu? Terletak pada kekuasaan untuk “memilih” pilihan yang diberikan oleh Tuhan. Di situlah letak manusia sebagai makhluk individu. Tuhan juga memberikan bekal kepada manusia untuk mengenal pilihan terbaik yang seharusnya diambil. Yakni berupa akal sehat, hati nurani, panca indera, dan tentu saja tubuh. Tapi Tuhan juga memberikan kepada manusia “hawa nafsu” untuk menguji mereka.

Sobat, itulah filosofi takdir yang logis. Pilihan ada di tangan kita masing-masing. Mau terus konsisten atau menyimpang ke arah yang lain.

Kamar L.107. 8 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar