Minggu, 09 Februari 2014

Satu artikel saat pekan bencana : ”Jangan selalu mengutamakan sains”




Agenda pertama hari minggu setelah sarapan pagi adalah liqo. Alhamdulillah sejak SMA aku masih terlibat perkumpulan kecil-kecilan ini. meskipun sudah berkali-kali pindah dari halaqah yang satu ke halaqah yang lain.

Ada satu hikmah yang dapat aku petik dari materi liqo hari ini. saat aku buat tulisan ini, bumi pertiwi Indonesia sedang dilanda bencana. Di Pulau Jawa, sebagian besar daerahnya dihantam banjir. Bahkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir, pada tahun ini dilanda banjir cukup besar. Di Sumatra, gunung Sinabung muntah lagi. Di Pontianak, terjadi kebakaran di beberapa titik akibat cuaca panas yang berlebihan.

Akibat fenomena alam ini, para pakar ilmu pengetahuan menjadi sangat sibuk. Mereka harus melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebab bencana alam tersebut. bukan hanya penyebab, mereka juga dituntut untuk mencari solusi ampuh untuk menanggulangi bencana tersebut. Selain pakar ilmu pengetahuan, para pemimpin daerah juga sibuk mengurus kerusakan dan kerugian akibat bencana alam di daerahnya.

Di sinilah letak kekeliruan penduduk bumi saat ini. Semua disandarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Coba kita tanyakan kepada sang Pencipta alam. Bukankah yang paling mengetahui tentang suatu benda, adalah siapa yang menciptakan benda itu. Siapa pencipta bumi ini? tentu semua dari kita tahu jawabannya. Tapi, apakah kita pernah bertanya kepadanya? Bertanya kepada sang Pencipta perihal bencana yang melanda nusantara akhir-akhir ini? mungkin kalian akan bertanya, bagaimana caranya bertanya kepada Tuhan? Kita memang bukan Nabi, dan memang tidak akan ada lagi Nabi setelah Muhammad SAW. Tapi, bukankah Nabi mewariskan kitab suci Al-Qur’an kepada kita. Lewat situlah kita bertanya dan mencari jawabannya.

Dalam Q.S Ar-Rum ayat 41, Tuhan secara jelas mengatakan bahwa akan nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat perbuatan tangan manusia. Bencana alam menyebabkan kerusakan yang maha dahsyat di muka bumi. Manusia berusaha mencari cara untuk menanggulangi akibatnya, dan mencegah terjadinya bencana alam. Membangun bendungan, membangun tanggul, membuat sodetan, dan lain-lain. Tapi menurutku, ada yang satu ahal dilewatkan oleh manusia itu sendiri.

Manusia melakukan berbagai cara untuk menanggulangi bencana alam. Tapi, manusia tidak mengubah perilakunya sendiri. Manusia tidak sampai akal untuk memikirkan bahwa sabab-musabab terjadinya bencan alam adalah gaya hidup manusia yang tidak pernah perduli dengan keseimbangan alam. Hutan dicukur sampai gundul, isi perut bumi dikuras habis-habisan, sungai disulap menjadi tempat pembuangan sampah, dan bantarannya dijadikan pemukiman yang padat. Bukankah semua ini dimainkan oleh makhluk tuhan yang bernama “manusia”?

Akibat kerakusan manusia, semua potensi alam bumi disedot untuk perutnya sendiri. Sebagai akibatnya, keseimbangan alam terganggu. Maka, perlahan-lahan mulai terjadi bencana dimana-mana.
Perkembangan sains bukan untuk dijadikan dasar oleh umat manusia sehingga mengalahkan ketetapan Tuhan. Sains adalah jalan untuk mengungkap proses terjadinya sesuatu, tapi bukan untuk dijadikan sandaran mutlak oleh manusia. Tuhan menyampaikan lewat Al-Qur’an bahwa bencana yang terjadi adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri. Dan sains menjelaskan kepada manusia tentang penyebab terjadinya bencana alam. Maka menjadi jelas, penyebab dan yang akibat yang disebabkannya sehingga seharusnya manusia mengerti akar masalahnya, yakni “dirinya sendiri”. Maka dari itu, gaya hidup manusia yang harus diperbaiki.

Kalau kita lanjutkan sampai selesai ayat tersebut, Tuhan menyatakan maksud dan tujuan membuat bencana di muka bumi, yakni “agar manusia kembali kepada jalan yang benar.” Itu artinya, ketika terjadi bencana alam dimana-mana, itu sebagai tanda bahwa manusia sudah berada di atas jalan yang salah. Maka, kembalilah ke jalan yang benar.

Mari kita dalami lagi kasus ini dilihat dari sisi sang Pencipta melalui firmannya. Tuhan menceritakan kisah negeri Saba di dalam Al-Qur’an. Aku pikir, Saba sangat mirip dengan Negeri Indonesia. Karena Tuhan mengatakan secara eksplisit bahwa Saba adalah negeri yang sangat subur. Sudah tidak diragukan lagi bahwa Indonesia adalah Negara yang subur. Namun, keberlimpahan penduduk negeri Saba membuat mereka lalai dan tidak lagi bersyukur kepada Tuhan. Mereka bertindak semaunya tanpa memperdulikan kelestarian alam negerinya. Maka Tuhan murka dan memberikan bencana banjir kepada mereka. Sobat, bukankah kisah ini sangat mirip dengan kisah negeri ini? manusia tidak lagi bersyukur kepada Tuhan atas limpahan hasil alam yang luar biasa banyak. Karena kerakusannya, manusia hanya sibuk mengeruk hasilnya saja tanpa memikirkan keseimbangannya (baca:eksploitasi). Maka, mengapa kita tidak pernah berpikir dan mengambil pelajarannya, “Syukur”, hanya itu yang diinginkan Tuhan.

“Syukur” dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti menjaga kelestarian alam, berlaku jujur, hidup rukun antar sesama manusia, saling bekerja sama merawat dan memelihara alam ini, tindak melakukan praktik KKN, dan menjadi manusia yang patuh terhadap perintah Tuhan. Jangan pernah berpikir bahwa tindakan KKN, tawuran, mabuk-mabukan, semua perilaku itu tidak berdampak pada bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Coba kita cermati kisah nabi Nuh, bukankah Tuhan menimpakan air bah yang dahsyat kepada umat Nabi Nuh karena mereka tidak mau mengikuti perintah Tuhan? Maka dari itu, kembalilah ke jalan yang benar.

Sobat, nampaknya kita terlalu fokus pada bagaimana caranya menanggulangi bencana alam dilihat dari sisi perilaku alam saja. Tapi, kita tidak melihat pada bagaimana cara kita memperlakukan alam. Itulah yang diinginkan olah Tuhan lewat firmannya agar kita segera memperbaiki diri. Seolah-olah, yang salah atas semua bencana ini adalah bumi. Padahal bumi hanya menerima apa yang manusia lakukan padanya dan memberikan hasilnya kepada manusia. Tapi, karena manusia salah memperlakukan bumi, maka yang dikembalikan kepada manusia adalah bencana yang tidak ada habisnya.

Sobat, marilah kita perduli dengan bumi. Jangan pernah merasa puas dengan sains dan menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran bagi umat manusia. Cermati kembali rambu-rambu yang diberitahukan oleh kepada kita melalui Al-Qur’an. Untuk itu, rajin-rajinlah membaca, mengkaji, dan merenungi isi kandungan Al-Qur’an.

Kamar L.107. 9 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar