Sobat, ada satu
pelajaran lagi yang aku pikir akan sangat berguna jika aku bagikan kepada
kalian. Kali ini perihal “kebahagiaan”. Pelajarannya adalah “jangan
serahkan kebahagiaanmu kepada orang lain”. Mungkin kalian akan
bertanya-tanya, kok bisa? Bagaimana caranya? Lagi pula, siapa yang mau
menyerahkan kebahagiaan kita kepada orang lain? hal ini nyata dan benar-benar
terjadi. Karena itu bacalah tulisan ini samapi akhir.
Aku punya dua orang
teman. Keduanyanya perempuan. Temanku yang pertama ini, sudah satu tahun putus
dengan pacarnya. Dan sekarang dia sudah punya pacar yang baru lagi. Mantan
pacarnya itu kebetulan satu kampus. Tapi aku sungguh heran, meskipun sudah satu
tahun putus, temanku ini tidak bisa melupakan kenangan-kenangan buruk semasa
hubungan mereka. Bahkan, setiap kali dia bertemu dengan mantan pacarnya itu,
seketika wajahnya menyatakan kejengkelan. Kalau sudah begitu, ia akan buang
muka atau mengalihkan pandangannya dan menggerutu sendiri. Dan yang lebih
mengherankan lagi, pernah suatu waktu, kami sedang ngobrol tak karuan sambil
tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba sang Mantan hadir di tengah-tengah kami,
seketika itu juga wajah temanku ini berubah menjadi begitu benci dan jengkel. Sejak itu aku berpikir, mudah sekali perasaan seseorang
berubah dari bahagia menjadi benci. Mengapa bisa seperti itu?
Kisah temanku yang
kedua, tidak jauh beda dengan temanku yang pertama tadi. Namun, dalam kasus
yang berbeda. Dalam hubungan antar sesama manusia, sering kali terjadi konflik
yang memicu percikan api. Baik kecil maupun besar. satu waktu, temanku ini (sebut
saja A) punya masalah dengan temanku yang lainnya (sebut saja B) di kampus.
Seiring berjalannya waktu, aku pikir masalah diantara mereka sirna dengan
sendirinya. Tapi, ternyata masalah itu menjadi pemantik api yang disimpan di
dalam hati si A. Suatu hari, ketika kami diskusi membahas tugas perkuliahan. Saat
itu ada A dan B, Temanku si B memberikan ide kepada kami. Idenya bagus dan
solutif. Kami semua setuju dan senang dengan usulan itu. Tapi, diantara kami
semua ada satu orang temanku yang memperlihatkan ketidaksukaannya dengan si B,
ialah si A. Alhasil, diantara kami semua,
hanya temanku si A yang tidak setuju dengan usulan si B. tapi, mau tidak
mau si A harus menerima usulan si B, karena usulan itu disepakati oleh kami
semua. Karena merasa tidak mendapat dukungan, temanku si A ini semakin jengkel.
Serta merta dia meninggalkan meja diskusi dan tidak kembali lagi. Kemudian aku
berpikir, sebenarnya yang menjadi masalah usulannya atau dengan orangnya?
Awalnya aku berpikir bahwa si A memang tidak setuju dengan usulan si B. tapi,
setelah aku coba bicara dengannya, permasalahannya bukan dengan usulannya, tapi
dengan siapa yang memberikan usul itu yakni si B. Kalau sudah begini, mau bagus
atau jelek usulannya, apapun yang dikatakan oleh si B akan selalu jelek dimata
si A.
Sobat, dari dua kisah
temanku itu ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Yang mau aku sampaikan
di sini adalah “betapa mudahnya kebahagiaan seseorang diambil oleh orang lain dan
begitu mudah pula seseorang menyerahkan kebahagiaannya kepada orang lain”.
Coba kita renungkan kisah temanku yang pertama. Sekalipun dia sedang tertawa
terbahak-bahak kemudian di saat yang sama datang orang yang dibencinya,
seketika itu juga wajahnya berubah penuh kebencian. Bukankah itu artinya kebahagiaannya
hilang? Semudah itu? Secepat itu?
Mari kita coba analisis
kasus ini. andai kita ulangi kisah ini berkali-kali sepanjang kurun waktu
tertentu, maka setiap kali temanku ini bertemu dengan mantan pacarnya,
perasaannya akan dipenuhi rasa benci dan jengkel. Namun, ketika tidak ada
kehadiran mantan pacarnya itu, dia bisa tertawa bahagia dengan lepas. Menjalani
hidupnya tanpa ada pengaruh dari siapapun. Itu artinya, kebahagiaannya
tergantung pada keberadaan si Mantan pacar? Mau sampai kapan ia menyerahkan
kebahagiaannya kepada mantan pacarnya itu? Seumur hidup? Atau kebalikannya, sesegera
mungkin dia ambil kembali kebahagiaannya itu? Pilihan ada ditangan temanku ini.
Begitu juga dengan
kasus temanku yang kedua, seandainya dia bisa memilah siapa yang seharusnya dia
benci, maka kejadian seperti itu tidak perlu terjadi. Apalagi kalau temanku si
A bisa dengan mudah memaafkan kesalahan si B. tentu itu akan lebih baik lagi.
Pada dua kasus yang aku
ceritan ini, keduanya memberitahu kepada kita bahwa “kebahagiaan” semestinya
milik kita. Kita yang berhak menentukan diri kita bahagia, bukan orang lain.
Sobat, jika saat ini
kita masih memendam amarah kepada seseorang di luar sana, itu artinya kita
menyerahkan kebahagiaan kita kepada mereka. Agar bisa hidup bahagia,
satu-satunya cara adalah kita harus mengambil kembali kabahagiaan itu. Caranya
dengan “memaafkan”.
Ada untaian nasihat
yang sangat bagus. Bunyinya begini, ”ada dua hal yang harus kamu ingat dan ada
dua hal pula yang harus kamu lupakan. Dua hal yang harus kamu ingat adalah
kesalahanmu kepada orang lain, dan kebaikan orang lain kepadamu. Sedagkan dua
hal yang harus kamu lupakan adalah kesalahan orang lain kepadamu dan kebaikanmu
kepada orang lain.”
Sobat, aku mengajak
kalian untuk mengambil kembali kebahagiaan yang selama ini secara tidak sadar
kita serahkan kepada orang lain. maafkanlah dia, lupakan saja kesalahannya
kepadamu. Niscaya, kebahagiaanmu akan kembali seutuhnya.
Kamar L.107. Rabu, 5
februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar