Sabtu, 08 Februari 2014

Satu artikel sebelum tidur:”Jangan serahkan kebahagianmu kepada orang lain”




Sobat, ada satu pelajaran lagi yang aku pikir akan sangat berguna jika aku bagikan kepada kalian. Kali ini perihal “kebahagiaan”. Pelajarannya adalah jangan serahkan kebahagiaanmu kepada orang lain”. Mungkin kalian akan bertanya-tanya, kok bisa? Bagaimana caranya? Lagi pula, siapa yang mau menyerahkan kebahagiaan kita kepada orang lain? hal ini nyata dan benar-benar terjadi. Karena itu bacalah tulisan ini samapi akhir.

Aku punya dua orang teman. Keduanyanya perempuan. Temanku yang pertama ini, sudah satu tahun putus dengan pacarnya. Dan sekarang dia sudah punya pacar yang baru lagi. Mantan pacarnya itu kebetulan satu kampus. Tapi aku sungguh heran, meskipun sudah satu tahun putus, temanku ini tidak bisa melupakan kenangan-kenangan buruk semasa hubungan mereka. Bahkan, setiap kali dia bertemu dengan mantan pacarnya itu, seketika wajahnya menyatakan kejengkelan. Kalau sudah begitu, ia akan buang muka atau mengalihkan pandangannya dan menggerutu sendiri. Dan yang lebih mengherankan lagi, pernah suatu waktu, kami sedang ngobrol tak karuan sambil tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba sang Mantan hadir di tengah-tengah kami, seketika itu juga wajah temanku ini berubah menjadi begitu benci dan jengkel.  Sejak itu aku berpikir, mudah sekali perasaan seseorang berubah dari bahagia menjadi benci. Mengapa bisa seperti itu?

Kisah temanku yang kedua, tidak jauh beda dengan temanku yang pertama tadi. Namun, dalam kasus yang berbeda. Dalam hubungan antar sesama manusia, sering kali terjadi konflik yang memicu percikan api. Baik kecil maupun besar. satu waktu, temanku ini (sebut saja A) punya masalah dengan temanku yang lainnya (sebut saja B) di kampus. Seiring berjalannya waktu, aku pikir masalah diantara mereka sirna dengan sendirinya. Tapi, ternyata masalah itu menjadi pemantik api yang disimpan di dalam hati si A. Suatu hari, ketika kami diskusi membahas tugas perkuliahan. Saat itu ada A dan B, Temanku si B memberikan ide kepada kami. Idenya bagus dan solutif. Kami semua setuju dan senang dengan usulan itu. Tapi, diantara kami semua ada satu orang temanku yang memperlihatkan ketidaksukaannya dengan si B, ialah si A. Alhasil, diantara kami semua,  hanya temanku si A yang tidak setuju dengan usulan si B. tapi, mau tidak mau si A harus menerima usulan si B, karena usulan itu disepakati oleh kami semua. Karena merasa tidak mendapat dukungan, temanku si A ini semakin jengkel. Serta merta dia meninggalkan meja diskusi dan tidak kembali lagi. Kemudian aku berpikir, sebenarnya yang menjadi masalah usulannya atau dengan orangnya? Awalnya aku berpikir bahwa si A memang tidak setuju dengan usulan si B. tapi, setelah aku coba bicara dengannya, permasalahannya bukan dengan usulannya, tapi dengan siapa yang memberikan usul itu yakni si B. Kalau sudah begini, mau bagus atau jelek usulannya, apapun yang dikatakan oleh si B akan selalu jelek dimata si A.
Sobat, dari dua kisah temanku itu ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Yang mau aku sampaikan di sini adalah “betapa mudahnya kebahagiaan seseorang diambil oleh orang lain dan begitu mudah pula seseorang menyerahkan kebahagiaannya kepada orang lain”. Coba kita renungkan kisah temanku yang pertama. Sekalipun dia sedang tertawa terbahak-bahak kemudian di saat yang sama datang orang yang dibencinya, seketika itu juga wajahnya berubah penuh kebencian. Bukankah itu artinya kebahagiaannya hilang? Semudah itu? Secepat itu?

Mari kita coba analisis kasus ini. andai kita ulangi kisah ini berkali-kali sepanjang kurun waktu tertentu, maka setiap kali temanku ini bertemu dengan mantan pacarnya, perasaannya akan dipenuhi rasa benci dan jengkel. Namun, ketika tidak ada kehadiran mantan pacarnya itu, dia bisa tertawa bahagia dengan lepas. Menjalani hidupnya tanpa ada pengaruh dari siapapun. Itu artinya, kebahagiaannya tergantung pada keberadaan si Mantan pacar? Mau sampai kapan ia menyerahkan kebahagiaannya kepada mantan pacarnya itu? Seumur hidup? Atau kebalikannya, sesegera mungkin dia ambil kembali kebahagiaannya itu? Pilihan ada ditangan temanku ini.

Begitu juga dengan kasus temanku yang kedua, seandainya dia bisa memilah siapa yang seharusnya dia benci, maka kejadian seperti itu tidak perlu terjadi. Apalagi kalau temanku si A bisa dengan mudah memaafkan kesalahan si B. tentu itu akan lebih baik lagi.

Pada dua kasus yang aku ceritan ini, keduanya memberitahu kepada kita bahwa “kebahagiaan” semestinya milik kita. Kita yang berhak menentukan diri kita bahagia, bukan orang lain.

Sobat, jika saat ini kita masih memendam amarah kepada seseorang di luar sana, itu artinya kita menyerahkan kebahagiaan kita kepada mereka. Agar bisa hidup bahagia, satu-satunya cara adalah kita harus mengambil kembali kabahagiaan itu. Caranya dengan “memaafkan”.

Ada untaian nasihat yang sangat bagus. Bunyinya begini, ”ada dua hal yang harus kamu ingat dan ada dua hal pula yang harus kamu lupakan. Dua hal yang harus kamu ingat adalah kesalahanmu kepada orang lain, dan kebaikan orang lain kepadamu. Sedagkan dua hal yang harus kamu lupakan adalah kesalahan orang lain kepadamu dan kebaikanmu kepada orang lain.”

Sobat, aku mengajak kalian untuk mengambil kembali kebahagiaan yang selama ini secara tidak sadar kita serahkan kepada orang lain. maafkanlah dia, lupakan saja kesalahannya kepadamu. Niscaya, kebahagiaanmu akan kembali seutuhnya.

Kamar L.107. Rabu, 5 februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar