Senin, 26 November 2012

BULETIN : Idul Adha, Sumpah Pemuda dan Musuh Bersama


 Bismillahirrahmaanirrahiim

Tahun ini menjadi tahun spesial bagi umat muslim di Indonesia. Mengapa? Beberapa bulan lalu kita merayakan idul fitri yang hampir bersamaan dengan peringatan kemerdekaan RI, dan kali ini kita merayakan idul adha atau hari raya kurban yang jaraknya pun berdekatan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober.

Renungan yang relevan patut dikemukakan tentang misi dan pesan yang dibawa oleh perayaan Idul Adha dan Sumpah Pemuda. Jika Islam -perayaan idul Adha- mengusung rahmatan lil alamin (kedamaian bagi seluruh alam) maka sumpah pemuda mengusung semangat kebersatuan dan kebangkitan pemuda Indonesia sebagaimana yang dikumandangkan dalam diktum sumpah pemuda, bernegara satu,berbahasa satu dan bertanah air satu Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, pada satu dekade terakhir, banyaknya aksi kekerasan dan terorisme terjadi di saat peringatan hari-hari besar keagamaan. Hal ini tentu mengusik
kedamaian kita. Pertanyaannya, apakah momen idul adha yang berdekatan dengan peringatan sumpah pemuda ini mampu mencegah tindakan tersebut ?

Berpijak dari permasalahan diatas momen kedekatan Idul Adha dan peringatan hari sumpah pemuda ini memepunyai relevansi untuk mengimplementasikan serta mengejawantahkan misi, pesan-pesan perdamaian dari keduanya. Idul Adha yang berdimensi vertikal dengan tujuan Taqarrub kepada Tuhan dengan berkurban, juga mempunyai dimensi horizontal yang termanifestasi dengan pembagian daging hewan sembelihan kepada orang-orang miskin. Hal itu mengingatkan kepada kita akan pentingnya kebersamaan, dan indahnya berbagi dengan sesama.

Di lain pihak, sumpah pemuda mengingatkan kita akan jiwa nasioinalisme dan pentingnya kesatuan serta semangat untuk maju dalam memerangi segala usaha yang merongrong negara kesatuan republik indonesia ini.

Betapapun nasionalisme anak muda hari ini patut kita kaji, kita pertanyakan bahkan kita curigai kalau diperlukan. Mengapa? Karena ibarat tanaman, nasionalisme kita hari ini dihinggapi oleh sekian banyak insektisida dan juga penyakit gulma. Misalnya, derasnya budaya asing korea yang membuat anak
muda kita gagap bahkan galau dalam mendefinisikan nasionalismenya sendiri, selain itu bahasa anak muda kita hari ini juga menghawatirkan, bahasa baku indonesia hampir punah diembargo oleh bahasa alay yang “seksi” bagi sebagian banyak generasi muda kita.

Maka outputnya, tatkala beberapa tahun lalu Sabrang Mowo Damar  Panoloeh (200) memodifikasi sumpah pemuda dengan menambahi kata “sudah” yang menjadi sudah bertanah air satu, sudah bernegara satu dan sudah berbahasa satu yakni indonesia maka betapa tidak bisa kita bayangkan generasi muda kita hari ini ketika membaca sumpah pemuda serta merta mereka memodifikasinya sendiri  sesuai selera.

Bahasanya menjadi, kami  putra putri indonesia mengaku bertanah air satu tanah air indonesia, kami putra putri indonesia mengaku bernegara satu negara indonesia, kami putra putri indonesia mengaku berbahasa satu berbahasa indonesia, “bahasa indonesia saja atau bahasa indonesia banget?” Lalu dari seberang lamat-lamat terdengar “terus gue harus koprol sambil bilang wew gitu?” Sungguh itu tantangan besar bagi kita semua karena jika hal ini kita biarkan maka tak mustahil nasionalisme kita esok akan terkikis habis tanpa sisa. Kaitannya dengan urgensi kebersamaan dan kesatuan ini mohammad sobari (2008) berpendapat bahwa, umat beragama di Indonesia harus berani serta sepakat untuk menentukan musuh bersama yang harus diperangi, dalam hal ini musuh kita bersama adalah kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dan juga penjajahan budaya. Untuk itu marilah kita bersama memerangi keempat-empatnya dengan semangat kebersamaan yang tercermin dalam Idul Adha dan semangat nasionalisme yang tercermin dalam sumpah pemuda. Dengan idul adha kita merenungi khazanah dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sementara dalam sumpah pemuda kita belajar memerangi gejala nasionalisme yang fluktuatif dan cenderung terkikis. Wallahu a’lam.
Oleh : Fariz Alniezar (Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta BergeSenin, 29 Oktober 2012 12:21 WIB
 dimuat dalam buletin Sekolah Tinggi Sandi Negara, edisi 5 : 17 Dzulhijjah 1433 H  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar