Cita, adalah kata yang selalu mengutkan kita,
cita pula yang menjadi tujuan
hidup kita.
Sedih dan perih harus kita rasakan demi cita yang gemilang.
Terjatuh dan harus bangun lagi untuk melompat-lompat menggapainya.
Meskipun
tinggi, kita punya tangga.
Meskipun dalam, kita mampu menyelam.
Teruslah berlari meski kau tahu tenagamu akan
habis,
teruslah berusaha meskipun kau tahu kau akan gagal seperti kau menjalani
hidup padahal kau tahu kau pasti mati.
Yang Allah lihat bukanlah berhasil atau
gagal.
Tapi Perjuangan.
Itulah yang Ia lihat.
Seberapa besar pengorbanan kita
untuk cita kita, dan seberapa kuat kita menegakkan tubuh demi meraihnya.
Kuatkkan hati menghadapi tantangan dan yakini bahwa kau mampu
menyelesaikannya.
Menggenggamnya semudah menggenggam tangan orang yang kau
cintainya.
Merasai kekurangan diri yang tiada habisnya, menyesali dosa yang
tlah terukir menjadi rujukan agar kita tidak jatuh kelubang yang sama untuk
kedua kalinya.
Optimistis pada kekuatan Allah dan pesimistis pada kemampuan
diri adalah kombinasi terbaik yang bisa dilakukan.
Karena sekalipun cerdas,
takkan pernah mengalahkan kecerdasan milik-Nya.
Sekalipun cerdas, masih, banyak
manusia dimuka bumi ini yang lebih cerdas.
Optimistis pada diri sendiri hanya akan menjadi kesombongan
dalam hati yang tak dikira.Ketika gagal, begitu sakit yang akan terasa.
Dan pesimistis kepada diri, kan menjadi tawadhu tersendiri dalam hati, sekalipun gagal.
Tidak begitu sakit karena kita merasa memang kita lemah dan kecil.
Munafik dan hina.
Kerdil sekaligus bodoh.
Dan saat mampu menggenggam cita, syukur tiada terperi akan selalu terucap dari lisan, hati dan perbuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar