Minggu, 09 Februari 2014

Satu artikel menjelang hari yang luang: ”say stop to delay”




“Waktu” adalah kesempatan yang terus berjalan maju dan tidak akan pernah mundur. Ali bin Abi Thalib mangatakan “waktu ibarat pedang”. Jika kalian tak pandai menggunakannya, maka kalian akan tersayat olehnya. Tapi jika kalian pandai menggunakannya, pedang itu bisa digunakan untuk apa saja.

Saking berharganya waktu, Tuhan berkali-kali bersumpah dengan waktu di dalam Al-Qur’an. Waktu adalah modal dasar bagi manusia untuk hidup. Mencari karunia Tuhan di muka bumi. Jadi, jangan sia-siakan waktu kalian.

Aku punya teman di kampus yang senang sekali menyia-nyiakan waktu, dalam kasus ini kesukaannya adalah “menunda-nunda” pekerjaan. Kawan, perilaku ini terlihat sangat remeh. Tapi menunda pekerjaan bisa menjadi penyebab kegagalan seseorang meraih kesuksesan. Aku bersyukur mendapat tempat kuliah yang menerapkan disiplin tinggi. Untuk penulisan skripsi, mahasiswa tingkat akhir hanya diberikan kesempatan 10 bulan. Dibagi menjadi tiga tahapan. Dan tiap tahapnya sidah ditentukan batas waktu pengumpulannya. Jadi, kemungkinan besar dapat selesai tepat waktu karena dipaksa oleh batas-batas itu.

Meskipun begitu, temanku ini tetap saja pada perilakunya. Beberapa tugas kuliah yang lalu, juga dia kerjakan setelah waktu mepet dengan deadline. Alhasil, dia panik sendiri karena yang lain sudah selesai semua. Hobinya adalah bertanya, “lo udah selesai belom?” atau “lo udah sampe mana?” atau “lo berapa halaman?” tapi ia hanya sebatas bertanya. Bagiku itu bagus, karena aku gunakan itu sebagai pengingat. Tapi kalau hanya bertanya-tanya saja tanpa dikerjakan, apa gunanya? Atau bertanya begitu untuk mencari kawan yang juga berlum mengerjakan untuk dijadikan “pemakluman” pada diri sendiri. Sehingga bisa merasa aman karena toh masih ada juga yang belum mengerjakan. Jika menemukan teman yang belum mengerjakan tugas juga, dia akan berkata pada dirinya sendiri “Dia aja belom, gue juga nanti aja deh!”  atau “Masih ada kok yang belom, santai aja kali…!” padahal temanku ini tidak tahu kalau dari 42 dua orang, hanya tinggal dia dan temannya yang satu itu saja yang belum mengerjakan. Atau mungkin, yang menjawab belum pun sengaja menjawab sepeti itu, padahal sudah mengerjakan. Biasanya kalau dijawab “sudah”, akan berlanjut kepada pertanyaan berikutnya. Lantaran malas menjawab pertanyaan setelah itu, dijawab saja sudah agar dia tidak bertanya lagi.

Suatu hari, kami mendapat mata kuliah oleh dosen yang killer. Setiap tugas harus dikumpulkan tepat waktu, harus ada ketika tugas itu minta dikumpulkan. Kejadian yang sama terjadi lagi untuk yang kesekian kali. Temanku ini belum menunjukkan batang hidungnya di kelas. Informasi dari temanku yang lain, dia masih sibuk mencetak tugasnya. Dia baru mulai mengerjakan tugas itu tadi malam, padahal tugas itu diberikan sejak satu bulan yang lalu.

Sementara tugas harus dikumpulkan bersama-sama, tidak boleh ada yang tertinggal. Batas pengumpulan tinggal lima menit lagi, tapi batang hidungnya belum nongol juga. Kolom paraf pengumpulan tugas hanya tinggal namanya saja yang masih kosong. Kami semua dibuat jengkel olehnya. Teman-temanku yang lain berkali-kali mencela dan mencemoohnya. tidak main-main kalau terlambat, nilai kami dikurangi sepuluh poin dari nilai yang diperoleh. Sialnya lagi, dosen ini terkenal pelit memberikan nilai kepada mahasiswa.

Waktu tinggal 45 detik lagi, temanku akhirnya muncul. Ia tergopoh-gopoh berlari dari ujung lorong. badannya besar, hentakan kakinya membuat gema di sepanjang lorong. bajunya basah karena diresapi keringat,

“sori bro, printernya ngadat! ” katanya membuat alasan. Sudah tau kalau printernya sering macet, tapi kenapa masih suka nunda-nunda kerjaan!! Mungkin itu isi kepala temanku yang lain.

Lalu ia mengisi kolom paraf yang masih kosong. Waktu tersisi 15 detik lagi, ketua kelas berlari sekuat tenaga menuju ruang dosen untuk mengumpulkan tugas. Semoga tidak terlambat.

Sobat, apakah kalian termasuk salah satu orang yang seperti itu? Kalau tidak syukurlah. Tapi kalau iya, segeralah perbaiki diri kalian. Selain menyusahkan diri sendiri, perilaku seperti itu juga menyusahkan orang lain. Manusia diberikan akal sehat, panca indera, dan hati nurani bukan tanpa tujuan. Kita harus belajar dari pengalaman. Baik itu pengalaman diri sendiri, maupun dari pengalaman orang lain. aku menjadikan cerita ini sebagai pelajaran supaya tidak menunda-nunda pekerjaan. Aku membiasakan diri untuk membuat perencanaan yang matang dan serinci mungkin. Dengan begitu, pekerjaan sebanyak apapun dapat aku selesaikan dengan baik.

Ingatlah sobat, “waktu ibarat pedang” kalau kalian berman-main dengannya, maka kalian akan terluka karenanya.

Kamar L.107. 9 Februari 2014

Satu artikel saat pekan bencana : ”Jangan selalu mengutamakan sains”




Agenda pertama hari minggu setelah sarapan pagi adalah liqo. Alhamdulillah sejak SMA aku masih terlibat perkumpulan kecil-kecilan ini. meskipun sudah berkali-kali pindah dari halaqah yang satu ke halaqah yang lain.

Ada satu hikmah yang dapat aku petik dari materi liqo hari ini. saat aku buat tulisan ini, bumi pertiwi Indonesia sedang dilanda bencana. Di Pulau Jawa, sebagian besar daerahnya dihantam banjir. Bahkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir, pada tahun ini dilanda banjir cukup besar. Di Sumatra, gunung Sinabung muntah lagi. Di Pontianak, terjadi kebakaran di beberapa titik akibat cuaca panas yang berlebihan.

Akibat fenomena alam ini, para pakar ilmu pengetahuan menjadi sangat sibuk. Mereka harus melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebab bencana alam tersebut. bukan hanya penyebab, mereka juga dituntut untuk mencari solusi ampuh untuk menanggulangi bencana tersebut. Selain pakar ilmu pengetahuan, para pemimpin daerah juga sibuk mengurus kerusakan dan kerugian akibat bencana alam di daerahnya.

Di sinilah letak kekeliruan penduduk bumi saat ini. Semua disandarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Coba kita tanyakan kepada sang Pencipta alam. Bukankah yang paling mengetahui tentang suatu benda, adalah siapa yang menciptakan benda itu. Siapa pencipta bumi ini? tentu semua dari kita tahu jawabannya. Tapi, apakah kita pernah bertanya kepadanya? Bertanya kepada sang Pencipta perihal bencana yang melanda nusantara akhir-akhir ini? mungkin kalian akan bertanya, bagaimana caranya bertanya kepada Tuhan? Kita memang bukan Nabi, dan memang tidak akan ada lagi Nabi setelah Muhammad SAW. Tapi, bukankah Nabi mewariskan kitab suci Al-Qur’an kepada kita. Lewat situlah kita bertanya dan mencari jawabannya.

Dalam Q.S Ar-Rum ayat 41, Tuhan secara jelas mengatakan bahwa akan nampak kerusakan di bumi dan di laut sebagai akibat perbuatan tangan manusia. Bencana alam menyebabkan kerusakan yang maha dahsyat di muka bumi. Manusia berusaha mencari cara untuk menanggulangi akibatnya, dan mencegah terjadinya bencana alam. Membangun bendungan, membangun tanggul, membuat sodetan, dan lain-lain. Tapi menurutku, ada yang satu ahal dilewatkan oleh manusia itu sendiri.

Manusia melakukan berbagai cara untuk menanggulangi bencana alam. Tapi, manusia tidak mengubah perilakunya sendiri. Manusia tidak sampai akal untuk memikirkan bahwa sabab-musabab terjadinya bencan alam adalah gaya hidup manusia yang tidak pernah perduli dengan keseimbangan alam. Hutan dicukur sampai gundul, isi perut bumi dikuras habis-habisan, sungai disulap menjadi tempat pembuangan sampah, dan bantarannya dijadikan pemukiman yang padat. Bukankah semua ini dimainkan oleh makhluk tuhan yang bernama “manusia”?

Akibat kerakusan manusia, semua potensi alam bumi disedot untuk perutnya sendiri. Sebagai akibatnya, keseimbangan alam terganggu. Maka, perlahan-lahan mulai terjadi bencana dimana-mana.
Perkembangan sains bukan untuk dijadikan dasar oleh umat manusia sehingga mengalahkan ketetapan Tuhan. Sains adalah jalan untuk mengungkap proses terjadinya sesuatu, tapi bukan untuk dijadikan sandaran mutlak oleh manusia. Tuhan menyampaikan lewat Al-Qur’an bahwa bencana yang terjadi adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri. Dan sains menjelaskan kepada manusia tentang penyebab terjadinya bencana alam. Maka menjadi jelas, penyebab dan yang akibat yang disebabkannya sehingga seharusnya manusia mengerti akar masalahnya, yakni “dirinya sendiri”. Maka dari itu, gaya hidup manusia yang harus diperbaiki.

Kalau kita lanjutkan sampai selesai ayat tersebut, Tuhan menyatakan maksud dan tujuan membuat bencana di muka bumi, yakni “agar manusia kembali kepada jalan yang benar.” Itu artinya, ketika terjadi bencana alam dimana-mana, itu sebagai tanda bahwa manusia sudah berada di atas jalan yang salah. Maka, kembalilah ke jalan yang benar.

Mari kita dalami lagi kasus ini dilihat dari sisi sang Pencipta melalui firmannya. Tuhan menceritakan kisah negeri Saba di dalam Al-Qur’an. Aku pikir, Saba sangat mirip dengan Negeri Indonesia. Karena Tuhan mengatakan secara eksplisit bahwa Saba adalah negeri yang sangat subur. Sudah tidak diragukan lagi bahwa Indonesia adalah Negara yang subur. Namun, keberlimpahan penduduk negeri Saba membuat mereka lalai dan tidak lagi bersyukur kepada Tuhan. Mereka bertindak semaunya tanpa memperdulikan kelestarian alam negerinya. Maka Tuhan murka dan memberikan bencana banjir kepada mereka. Sobat, bukankah kisah ini sangat mirip dengan kisah negeri ini? manusia tidak lagi bersyukur kepada Tuhan atas limpahan hasil alam yang luar biasa banyak. Karena kerakusannya, manusia hanya sibuk mengeruk hasilnya saja tanpa memikirkan keseimbangannya (baca:eksploitasi). Maka, mengapa kita tidak pernah berpikir dan mengambil pelajarannya, “Syukur”, hanya itu yang diinginkan Tuhan.

“Syukur” dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti menjaga kelestarian alam, berlaku jujur, hidup rukun antar sesama manusia, saling bekerja sama merawat dan memelihara alam ini, tindak melakukan praktik KKN, dan menjadi manusia yang patuh terhadap perintah Tuhan. Jangan pernah berpikir bahwa tindakan KKN, tawuran, mabuk-mabukan, semua perilaku itu tidak berdampak pada bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Coba kita cermati kisah nabi Nuh, bukankah Tuhan menimpakan air bah yang dahsyat kepada umat Nabi Nuh karena mereka tidak mau mengikuti perintah Tuhan? Maka dari itu, kembalilah ke jalan yang benar.

Sobat, nampaknya kita terlalu fokus pada bagaimana caranya menanggulangi bencana alam dilihat dari sisi perilaku alam saja. Tapi, kita tidak melihat pada bagaimana cara kita memperlakukan alam. Itulah yang diinginkan olah Tuhan lewat firmannya agar kita segera memperbaiki diri. Seolah-olah, yang salah atas semua bencana ini adalah bumi. Padahal bumi hanya menerima apa yang manusia lakukan padanya dan memberikan hasilnya kepada manusia. Tapi, karena manusia salah memperlakukan bumi, maka yang dikembalikan kepada manusia adalah bencana yang tidak ada habisnya.

Sobat, marilah kita perduli dengan bumi. Jangan pernah merasa puas dengan sains dan menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran bagi umat manusia. Cermati kembali rambu-rambu yang diberitahukan oleh kepada kita melalui Al-Qur’an. Untuk itu, rajin-rajinlah membaca, mengkaji, dan merenungi isi kandungan Al-Qur’an.

Kamar L.107. 9 Februari 2014

Sabtu, 08 Februari 2014

Satu artikel sebelum tidur:”Jangan serahkan kebahagianmu kepada orang lain”




Sobat, ada satu pelajaran lagi yang aku pikir akan sangat berguna jika aku bagikan kepada kalian. Kali ini perihal “kebahagiaan”. Pelajarannya adalah jangan serahkan kebahagiaanmu kepada orang lain”. Mungkin kalian akan bertanya-tanya, kok bisa? Bagaimana caranya? Lagi pula, siapa yang mau menyerahkan kebahagiaan kita kepada orang lain? hal ini nyata dan benar-benar terjadi. Karena itu bacalah tulisan ini samapi akhir.

Aku punya dua orang teman. Keduanyanya perempuan. Temanku yang pertama ini, sudah satu tahun putus dengan pacarnya. Dan sekarang dia sudah punya pacar yang baru lagi. Mantan pacarnya itu kebetulan satu kampus. Tapi aku sungguh heran, meskipun sudah satu tahun putus, temanku ini tidak bisa melupakan kenangan-kenangan buruk semasa hubungan mereka. Bahkan, setiap kali dia bertemu dengan mantan pacarnya itu, seketika wajahnya menyatakan kejengkelan. Kalau sudah begitu, ia akan buang muka atau mengalihkan pandangannya dan menggerutu sendiri. Dan yang lebih mengherankan lagi, pernah suatu waktu, kami sedang ngobrol tak karuan sambil tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba sang Mantan hadir di tengah-tengah kami, seketika itu juga wajah temanku ini berubah menjadi begitu benci dan jengkel.  Sejak itu aku berpikir, mudah sekali perasaan seseorang berubah dari bahagia menjadi benci. Mengapa bisa seperti itu?

Kisah temanku yang kedua, tidak jauh beda dengan temanku yang pertama tadi. Namun, dalam kasus yang berbeda. Dalam hubungan antar sesama manusia, sering kali terjadi konflik yang memicu percikan api. Baik kecil maupun besar. satu waktu, temanku ini (sebut saja A) punya masalah dengan temanku yang lainnya (sebut saja B) di kampus. Seiring berjalannya waktu, aku pikir masalah diantara mereka sirna dengan sendirinya. Tapi, ternyata masalah itu menjadi pemantik api yang disimpan di dalam hati si A. Suatu hari, ketika kami diskusi membahas tugas perkuliahan. Saat itu ada A dan B, Temanku si B memberikan ide kepada kami. Idenya bagus dan solutif. Kami semua setuju dan senang dengan usulan itu. Tapi, diantara kami semua ada satu orang temanku yang memperlihatkan ketidaksukaannya dengan si B, ialah si A. Alhasil, diantara kami semua,  hanya temanku si A yang tidak setuju dengan usulan si B. tapi, mau tidak mau si A harus menerima usulan si B, karena usulan itu disepakati oleh kami semua. Karena merasa tidak mendapat dukungan, temanku si A ini semakin jengkel. Serta merta dia meninggalkan meja diskusi dan tidak kembali lagi. Kemudian aku berpikir, sebenarnya yang menjadi masalah usulannya atau dengan orangnya? Awalnya aku berpikir bahwa si A memang tidak setuju dengan usulan si B. tapi, setelah aku coba bicara dengannya, permasalahannya bukan dengan usulannya, tapi dengan siapa yang memberikan usul itu yakni si B. Kalau sudah begini, mau bagus atau jelek usulannya, apapun yang dikatakan oleh si B akan selalu jelek dimata si A.
Sobat, dari dua kisah temanku itu ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Yang mau aku sampaikan di sini adalah “betapa mudahnya kebahagiaan seseorang diambil oleh orang lain dan begitu mudah pula seseorang menyerahkan kebahagiaannya kepada orang lain”. Coba kita renungkan kisah temanku yang pertama. Sekalipun dia sedang tertawa terbahak-bahak kemudian di saat yang sama datang orang yang dibencinya, seketika itu juga wajahnya berubah penuh kebencian. Bukankah itu artinya kebahagiaannya hilang? Semudah itu? Secepat itu?

Mari kita coba analisis kasus ini. andai kita ulangi kisah ini berkali-kali sepanjang kurun waktu tertentu, maka setiap kali temanku ini bertemu dengan mantan pacarnya, perasaannya akan dipenuhi rasa benci dan jengkel. Namun, ketika tidak ada kehadiran mantan pacarnya itu, dia bisa tertawa bahagia dengan lepas. Menjalani hidupnya tanpa ada pengaruh dari siapapun. Itu artinya, kebahagiaannya tergantung pada keberadaan si Mantan pacar? Mau sampai kapan ia menyerahkan kebahagiaannya kepada mantan pacarnya itu? Seumur hidup? Atau kebalikannya, sesegera mungkin dia ambil kembali kebahagiaannya itu? Pilihan ada ditangan temanku ini.

Begitu juga dengan kasus temanku yang kedua, seandainya dia bisa memilah siapa yang seharusnya dia benci, maka kejadian seperti itu tidak perlu terjadi. Apalagi kalau temanku si A bisa dengan mudah memaafkan kesalahan si B. tentu itu akan lebih baik lagi.

Pada dua kasus yang aku ceritan ini, keduanya memberitahu kepada kita bahwa “kebahagiaan” semestinya milik kita. Kita yang berhak menentukan diri kita bahagia, bukan orang lain.

Sobat, jika saat ini kita masih memendam amarah kepada seseorang di luar sana, itu artinya kita menyerahkan kebahagiaan kita kepada mereka. Agar bisa hidup bahagia, satu-satunya cara adalah kita harus mengambil kembali kabahagiaan itu. Caranya dengan “memaafkan”.

Ada untaian nasihat yang sangat bagus. Bunyinya begini, ”ada dua hal yang harus kamu ingat dan ada dua hal pula yang harus kamu lupakan. Dua hal yang harus kamu ingat adalah kesalahanmu kepada orang lain, dan kebaikan orang lain kepadamu. Sedagkan dua hal yang harus kamu lupakan adalah kesalahan orang lain kepadamu dan kebaikanmu kepada orang lain.”

Sobat, aku mengajak kalian untuk mengambil kembali kebahagiaan yang selama ini secara tidak sadar kita serahkan kepada orang lain. maafkanlah dia, lupakan saja kesalahannya kepadamu. Niscaya, kebahagiaanmu akan kembali seutuhnya.

Kamar L.107. Rabu, 5 februari 2014

Satu artikel sebelum tidur: ”Tentang Ideliasme”




Tulisan ini aku buat setelah membaca buku yang berisi catatan harian seorang ayah untuk anak-nya. karena itu aku tergerak untuk mengikutinya, mungkin bukan untuk anakku, tapi untuk diriku sendiri dan semua orang yang membaca tulisan ini.

Sekitar tiga bulan yang lalu, dengan diantar oleh kawanku yang baik hati, nanti aku akan membuat satu tulisan untuknya. Kami pergi membuat SIM (surat ijin mengemudi) sepeda motor di daerah Tangerang, Banten. Jaraknya cukup jauh dari rumahku, sehingga membuat bokong kami terasa panas lantaran terlalu lama duduk di atas sepeda motor.

Sesampainya di parkiran POLRES, kami bertemu dengan seorang Pak Polisi yang perutnya buncit. Lalu ia bertanya,

“mau bikin SIM, ya?” tanyanya,

“Iya, Pak” jawabku.

“Hmmm…bikin baru atau perpanjang?” tanyanya lagi.

“bikin baru, pak.” Jawabku.

Lalu tanpa berpikir lagi dia bertanya seperti ini, “mau dibantu gak?” aku mengerti maksudnya, kata bantu = beli. Artinya tidak usah repot-repot mengurus dan ikut ujian, tapi cukup duduk manis, lalu di foto, maka SIM akan ada di tangan.

“berapa, Pak.” Tanyaku.

“450 ribu.” Jawabnya. Sedangkan biaya yang sebenarnya adalah 100 ribu.

“ya, Pak. Kemahalan. Mahasiswa ini.” jawabku.

Ketika itu, sejujurnya aku sangat bimbang. Mau ikut dengan Pak Polisi ini, atau mengurus sendiri. Temanku yang sudah lebih dulu memiliki SIM dengan cara dibantu, tidak berkata apa-apa. Ia menyerahkan pilihan kepadaku. Aku bisa saja menerima tawarannya, karena di dompetku ada uang yang cukup, dan memang sudah disiapkan untuk hal seperti ini. tapi entah mengapa, aku teringat dengan kebiasaanku dahulu waktu kecil. Waktu masih kecil, aku senang berbohong kepada kedua orang tuaku, mencuri uang mereka, membolos sekolah, dan kenakalan lainnya. Karena perbuatanku itu, orang tuaku menghukumku habis-habisan. Setiap kali habis dihukum aku akan meringkuk di pojokan kamar sembari menangis sesenggukan. Aku ingat betul kalimat yang keluar dari mulut Ayahku setiap kali menghukumku, seperti ini katanya “masih kecil udah sering bohong, udah besar mau jadi apa, KAMU? Mau jadi Maling? Mau jadi koruptor?” bentaknya.

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku saat ini. usiaku saat itu 7 tahun. Sekarang usiaku sudah 21 tahun. Aku berpikir seperti ini, kenakalanku saat 7 tahun adalah sering berbohong, kalau di usia 21 tahun ini aku bertindak nakal, ya inilah wujud kenakalanku. kelak, 5 atau 10 tahun lagi, bisa jadi apa yang dikatakan oleh Ayahku bahwa aku akan jadi koruptor benar-benar menjadi kenyataan, kalau saat ini aku tidak mengubahnya.

Pilihan ada ditanganku, meneruskan perilaku berbohong dan aku akan jadi koruptor, atau memutusnya sekarang dan aku mengubah jalan hidupku. Saat itu juga aku putuskan untuk “berubah haluan”, aku menolak tawaran si Pak Polisi. Ia pergi dengan kecewa.

Singkat cerita, aku mengurus sendiri segala keperluan untuk ujian mengemudi. Setelah mengisi formulir, aku bercakap-cakap dengan orang lain yang juga peserta ujian SIM. Dan jiwaku semakin berontak ketika ku dapati mereka semua memilih “dibantu” alias “membeli” SIM. Dan parahnya lagi, semua yang “membeli” SIM prosesnya dipermudah, ujian hanya formalitas belaka, karena lembar jawaban yang diproses adalah lembar jawaban yang sudah ada isinya. Lembar jawaban yang diisi oleh peserta entah disembunyikan dimana. akibatnya, mereka yang mengikuti proses dengan “jujur” terabaikan akibat diselak oleh mereka yang membeli SIM, sehingga pemeriksaannya menjadi sangat lama.

Singkat cerita, aku tidak lulus ujian tulis dan pulang ke rumah dengan tangan kosong. Tapi, aku masih bisa berbesar hati, karena aku tidak “membeli” SIM seperti kebanyakan orang. Dan aku berharap, Ayahku akan menepuk-nepuk pundakku karena idelisme yang aku pegang ini.
Sesampainya di rumah, Ayahku menanyakan SIM yang aku peroleh, lalu aku ceritakan kepadanya bahwa aku gagal.  Lalu dia berkata seperti ini,”memang kamu gak dibantuin sama polisinya?” Tanya Ayahku,

Lalu aku jawab, “gak, Yah. Aku mengurusnya sendiri.”

Sobat, apa menurut kalian respon yang diberikan Ayahku?
Diluar dugaanku, Ayahku justeru kecewa dengan pilihanku ini. Ayahku lebih memilih agar aku “membeli” SIM saja. Ayahku lebih mendukung kalau aku berbohong dan ikut mendukung praktek KKN itu. Ayahku justeru kecewa melihat anaknya bertindak jujur dan menolak tindakan yang jelas-jelas salah. Tindakan KKN yang jelas-jelas sudah memiskinkan bangsa yang kaya raya ini.

Sobat, tidakkah kalian melihat ada yang terbalik pada ceritaku ini? siapa yang salah dan siapa yang benar menjadi tidak jelas. Aku, bertindak atas hati nurani akan kebenaran pilihanku, justeru dianggap salah. Sedangkan mereka yang ber-KKN, dengan menutup mata, seolah dapat dibenarkan.

Sobat, pesanku pada kalian, jika kalian memiliki idealisme yang kuat, maka jagalah ia baik-baik. Jangan sampai ternoda oleh tindak pemakluman dan pembenaran. Ukuran benar atau salah, tidak dinilai oleh banyak atau sedikitnya orang yang menyatakan hal itu benar atau salah. Tapi, kebenaran itu diukur oleh hati nurani yang bersih dan suci.

Sobat, jadilah mutiara. Mutiara tetaplah mutiara meskipun ia berada di dalam kubangan lumpur sekalipun. Tapi janganlah kalian jadi kotoran, karena kotoran akan tetap menjadi kotoran meski dimasukkan ke dalam madu sekalipun.

Sobat, layaknya mutiara, kau adalah manusia yang bernilai tinggi, memiliki harga diri, dan memiliki kehormatan yang tinggi. Jangan engkau rusak harga diri dan kehormatanmu dengan praktek tangan kotor sekalipun dibenarkan oleh banyak orang.

Kamar L.107. Selasa, 4 Februari 2014.