“Waktu” adalah
kesempatan yang terus berjalan maju dan tidak akan pernah mundur. Ali bin Abi
Thalib mangatakan “waktu ibarat pedang”. Jika kalian tak pandai menggunakannya,
maka kalian akan tersayat olehnya. Tapi jika kalian pandai menggunakannya,
pedang itu bisa digunakan untuk apa saja.
Saking
berharganya waktu, Tuhan berkali-kali bersumpah dengan waktu di dalam
Al-Qur’an. Waktu adalah modal dasar bagi manusia untuk hidup. Mencari karunia
Tuhan di muka bumi. Jadi, jangan sia-siakan waktu kalian.
Aku punya teman
di kampus yang senang sekali menyia-nyiakan waktu, dalam kasus ini kesukaannya
adalah “menunda-nunda” pekerjaan. Kawan, perilaku ini terlihat sangat
remeh. Tapi menunda pekerjaan bisa menjadi penyebab kegagalan seseorang meraih
kesuksesan. Aku bersyukur mendapat tempat kuliah yang menerapkan disiplin
tinggi. Untuk penulisan skripsi, mahasiswa tingkat akhir hanya diberikan
kesempatan 10 bulan. Dibagi menjadi tiga tahapan. Dan tiap tahapnya sidah ditentukan
batas waktu pengumpulannya. Jadi, kemungkinan besar dapat selesai tepat waktu
karena dipaksa oleh batas-batas itu.
Meskipun begitu,
temanku ini tetap saja pada perilakunya. Beberapa tugas kuliah yang lalu, juga
dia kerjakan setelah waktu mepet dengan deadline. Alhasil, dia panik sendiri
karena yang lain sudah selesai semua. Hobinya adalah bertanya, “lo
udah selesai belom?” atau “lo udah sampe mana?” atau “lo
berapa halaman?” tapi ia hanya sebatas bertanya. Bagiku itu bagus,
karena aku gunakan itu sebagai pengingat. Tapi kalau hanya bertanya-tanya saja
tanpa dikerjakan, apa gunanya? Atau bertanya begitu untuk mencari kawan yang
juga berlum mengerjakan untuk dijadikan “pemakluman” pada diri sendiri.
Sehingga bisa merasa aman karena toh masih ada juga yang belum mengerjakan. Jika
menemukan teman yang belum mengerjakan tugas juga, dia akan berkata pada
dirinya sendiri “Dia aja belom, gue juga nanti aja deh!” atau “Masih ada kok yang belom, santai aja
kali…!” padahal temanku ini tidak tahu kalau dari 42 dua orang, hanya
tinggal dia dan temannya yang satu itu saja yang belum mengerjakan. Atau
mungkin, yang menjawab belum pun sengaja menjawab sepeti itu, padahal sudah
mengerjakan. Biasanya kalau dijawab “sudah”, akan berlanjut kepada pertanyaan
berikutnya. Lantaran malas menjawab pertanyaan setelah itu, dijawab saja sudah
agar dia tidak bertanya lagi.
Suatu hari, kami
mendapat mata kuliah oleh dosen yang killer. Setiap tugas harus dikumpulkan
tepat waktu, harus ada ketika tugas itu minta dikumpulkan. Kejadian yang sama
terjadi lagi untuk yang kesekian kali. Temanku ini belum menunjukkan batang
hidungnya di kelas. Informasi dari temanku yang lain, dia masih sibuk mencetak
tugasnya. Dia baru mulai mengerjakan tugas itu tadi malam, padahal tugas itu
diberikan sejak satu bulan yang lalu.
Sementara tugas
harus dikumpulkan bersama-sama, tidak boleh ada yang tertinggal. Batas
pengumpulan tinggal lima menit lagi, tapi batang hidungnya belum nongol juga.
Kolom paraf pengumpulan tugas hanya tinggal namanya saja yang masih kosong.
Kami semua dibuat jengkel olehnya. Teman-temanku yang lain berkali-kali mencela
dan mencemoohnya. tidak main-main kalau terlambat, nilai kami dikurangi sepuluh
poin dari nilai yang diperoleh. Sialnya lagi, dosen ini terkenal pelit
memberikan nilai kepada mahasiswa.
Waktu tinggal 45
detik lagi, temanku akhirnya muncul. Ia tergopoh-gopoh berlari dari ujung
lorong. badannya besar, hentakan kakinya membuat gema di sepanjang lorong.
bajunya basah karena diresapi keringat,
“sori bro,
printernya ngadat! ” katanya membuat alasan. Sudah tau kalau printernya sering
macet, tapi kenapa masih suka nunda-nunda kerjaan!! Mungkin itu isi kepala
temanku yang lain.
Lalu ia mengisi
kolom paraf yang masih kosong. Waktu tersisi 15 detik lagi, ketua kelas berlari
sekuat tenaga menuju ruang dosen untuk mengumpulkan tugas. Semoga tidak
terlambat.
Sobat, apakah
kalian termasuk salah satu orang yang seperti itu? Kalau tidak syukurlah. Tapi
kalau iya, segeralah perbaiki diri kalian. Selain menyusahkan diri sendiri,
perilaku seperti itu juga menyusahkan orang lain. Manusia diberikan akal sehat,
panca indera, dan hati nurani bukan tanpa tujuan. Kita harus belajar dari
pengalaman. Baik itu pengalaman diri sendiri, maupun dari pengalaman
orang lain. aku menjadikan cerita ini sebagai pelajaran supaya tidak
menunda-nunda pekerjaan. Aku membiasakan diri untuk membuat perencanaan yang
matang dan serinci mungkin. Dengan begitu, pekerjaan sebanyak apapun dapat aku selesaikan
dengan baik.
Ingatlah sobat, “waktu
ibarat pedang” kalau kalian berman-main dengannya, maka kalian akan
terluka karenanya.
Kamar L.107. 9
Februari 2014